Unknown

A. Hasil Jajak Pendapat Terhadap Katekisasi
di GKI SW Jawa Tengah

Pdt. Wisnu Sapto Nugroho

Pengantar
Katekisasi merupakan upaya gereja menyampaikan pendidikan iman Kristen bagi anggota gereja [jemaat]. Proses katekisasi mestinya berlangsung seumur hidup. Memang bagi anggota jemaat yang hendak menyatakan pengakuan iman [sidi] dan menerima sakramen baptis dewasa harus mendapat pengajaran atau katekisasi. Dalam kenyataan jemaat, kekhususan pengajaran bagi para calon penerima sakramen baptis dewasa dan calon anggota jemaat yang akan sidi menjadikan katekisasi seolah merupakan upaya memperoleh surat ijin untuk baptis dewasa atau sidi. Kekeliruan pemahaman ini menjadikan katekisasi sebagai prasyarat yang membebani anggota jemaat. Keikutsertaan anggota jemaat menjalani katekisasi terjadi karena “terpaksa”. Di sisi lain, Marie Claire Barth menyebutkan bahwa katekisasi juga menjadi sarana indoktrinasi jemaat. Upaya ini menjadikan katekisasi bukan sebagai sarana memotivasi jemaat agar mencari hubungan dengan Tuhan, mendalami Alkitab dan tradisi serta menemui panggilannya sendiri [Claire Barth, 2006].

Apa dampak dari keterpaksaan menjalani katekisasi dan penggunaan katekisasi sebagai sarana indoktrinasi? Melalui jajak pendapat terhadap anggota jemaat yang sedang dan sudah mengikuti katekisasi paling lama dalam kurun waktu 2 tahun terakhir, kita menemukan jawabannya.
Metode Jajak Pendapat
Jajak pendapat ini dirancang karena “mandat” dari semiloka revolusi katekisasi yang diselenggarakan oleh KKSW GKI SW Jateng. Tujuan dari jajak pendapat adalah menemukan pemahaman katekisan tentang katekisasi yang sedang dijalani maupun yang sudah dijalani. Metode yang digunakan dalam jajak pendapat ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan upaya penelitian dengan melakukan penelusuran untuk memahami dan mengerti gejala, realita, makna dari peristiwa yang dialami manusia [Conny R. Setiawan, 2010]. Melalui metode ini akan ditemukan seperti apa proses pelaksanaan katekisasi, pemahaman katekisan terhadap materi yang disampaikan, interaksi antar katekisan dan dengan pengajar katekisasi, apa dampak katekisasi bagi peserta dan harapan-harapan katekisan terhadap katekisasi.

Dalam jajak pendapat ini saya memilih respondens berdasar informasi dari para pengajar katekisasi. Untuk mendapat data katekisan dan mantan katekisan, saya mengawali dengan mengirim SMS ke 66 nomor pendeta dan calon pendeta GKI SW Jawa Tengah pada tanggal 31 januari 2015. Isi SMS adalah permohonan nama-nama dan nomor HP dari katekisan di gereja yang dilayani. Dari 66 SMS itu, sebanyak 12 pendeta/calon pendeta merespons dengan jawab:
Maaf, kelas katekisasi belum dimulai. Kepada yang menjawab demikian, saya membalas SMS agar mengirim nama dan nomor HP mantan katekisan [anggota jemaat yang pernah katekisasi].
Terimakasih, akan saya kirim segera.
Mengirim nama-nama dan nomor HP/telephon katekisan maupun mantan katekisan yang saat ini sudah menerima sakramen baptis dewasa maupun sidi.

Dari 12 pendeta/calon pendeta itu saya menerima nama-nama dan nomor HP sejumlah 85 katekisan. Dari 85 katekisan, saya memilih sejumlah 14 nama secara acak untuk jajak pendapat. 14 nama itu menyebar di beberapa GKI SW Jateng di Jawa Tengah, Jogja, Jakarta, Banten. Mengapa 14? Karena model jajak pendapat yang menggunakan metode penelitan kualitatif, maka jumlah ini cukup. Selain itu terdapat beberapa nama tidak mengangkat telephon saya ketika saya mengontak yang bersangkutan. Jumlah waktu rata-rata dalam setiap percakapan adalah 10 menit. Pelaksanaan jajak pendapat antara tanggal 5-6 Februari 2015.

Metode jajak pendapat dilakukan dengan melakukan wawancara melalui telephon. Komponen pertanyaan untuk wawancara:
Biodata
Bahan katekisasi
Tujuan katekisasi
Siapa pengajar katekisasi [Pendeta atau Penatua]
Pengalaman iman dalam katekisasi
Dampak katekisasi bagi kehidupan sehari-hari
Harapan untuk katekisasi

Pertanyaan-pertanyaan itu digunakan sebagai panduan dalam penelitian bagi katekisan. Jawaban responden digali lagi dengan pertanyaan pendalaman.
Hasil Jajak Pendapat

Bahan yang digunakan dalam katekisasi
Buku tumbuh dalam Kristus.
Buku tumbuh dalam Kristus sebagai acuan dasar, pengajar menyampaikan beberapa tambahan.
Bahan/modul yang dibuat sendiri oleh pengajar katekisasi.
Tanpa modul atau buku pegangan bagi katekisan

Berdasar jawaban ini, saya menemukan bahwa buku tumbuh dalam Kristus masih dipergunakan oleh pengajar katekisasi sebagai buku pegangan. “Ketaatan” menggunakan buku ini menunjukkan adanya ikatan batin yang kuat dari pengajar katekisasi terhadap bahan katekisasi terbitan GKI Jawa Tengah. Kekhasan model katekismus Heidelberg yang tampak dalam bahan ini dicoba untuk tetap dipertahankan. Hanya saya belum meneliti apakah pengajar katekisasi masih memegang pola katekismus Heidelberg dengan sebuah kesadaran atau karena mengikut saja pola yang sudah ada sebelumnya. Hal ini tidak saya kaji karena dalam hal ini tidak masuk dalam kerangka jajak pendapat ini.

Penggunaan buku Tumbuh dalam Kristus sebagai acuan dasar dengan tambahan buku-buku referensi lain oleh beberapa pengajar katekisasi merupakan upaya untuk mempertahankan buku Tumbuh dalam Kristus ini sebagai bahan dasar sekaligus mencoba memberi tambahan pada hal-hal yang tidak terdapat dalam buku tersebut. Sayang sekali dalam jajak pendapat ini tidak terungkap tentang tema-tema atau buku-buku apa yang menjadi referensi maupun materi tambahan.

Pembuatan modul atau bahan-bahan katekisasi oleh pengajar katekisasi menunjukkan bahwa ada upaya meciptakan bahan-bahan atau modul katekisasi. Salah seorang responden menceritakan bahwa modul ini berisi doktrin-doktrin iman Kristen. Apa yang dimaksud dengan doktrin Kristen? Doktrin Kristen yang dimaksud oleh katekisan adalah kehidupan Kristen yang bebas dari dosa dan kehidupan kekal sebagai buah dari iman pada Yesus Kristus yang mengalahkan dosa.

Terdapat pula pengajar katekisasi yang tidak menggunakan bahan Tumbuh dalam Kristus dan tidak membuat modul dalam mengajar. Pengajar ini akan menyampaikan bahan-bahan katekisasi secara “bebas” kepada katekisan. Yang dimaksud bebas adalah pengajar tidak membuat bahan-bahan dan rancangan pengajaran untuk katekisasi. Namun, dalam jajak pendapat ini tidak terungkap mengapa pangajar katekisasi tersebut tidak menggunakan buku tumbuh dalam Kristus atau tidak membuat modul katekisasi.

Tujuan Katekisasi
Sebagai prasyarat sidi atau prasyarat baptis dewasa
Mengetahui Firman Tuhan
Bertemu teman
Disuruh orang tua
Pendalaman iman

Katekisan memahami bahwa katekisasi adalah sarana atau semacam surat ijin agar bisa menyatakan pengakuan iman [sidi] atau baptis dewasa. Pandangan ini dinyatakan oleh semua responden yang ikut katekisasi untuk persiapan sidi dan baptis dewasa. Pandangan yang sama juga dinyatakan oleh mantan katekisan yang saat ini sudah menyatakan pengakuan iman [sidi] atau baptis dewasa.

Mengetahui Firman Tuhan adalah alasan kedua terbanyak dari katekisan. Ketika dilakukan pendalaman, apa makna mengetahui Firman Tuhan ditemukan jawaban yang beragam. Dari keragaman itu ditemukan sebuah inti yang mengarah pada pemahaman kognitif. Hal ini menunjukkan bahwa katekisasi dipahami oleh katekisan sebagai upaya pembelajaran untuk mendapat pengetahuan akan Firman Tuhan.

Ada katekisan yang menyatakan bahwa ikut katekisasi karena disuruh oleh orang tuanya. Ada pula yang ingin bertemu dengan teman sebayanya. Jawaban ini diberikan oleh responden yang berusia remaja. Hal ini bisa dipahami mengingat pengambilan keputusan pada usia remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungannya, dalam hal ini adalah teman sebayanya dan orang tuanya. Disuruh orang tua mendorong katekisan ikut katekisasi karena orang tuanya menghendaki anaknya segera sidi. Keinginan bertemu dengan temannya dalam katekisasi bisa menjadi komunitas tersendiri dari remaja gereja.

Dari 14 responden terdapat 3 responden yang menyatakan bahwa mengikuti katekisasi dengan tujuan mendalami iman Kristen. Dari ketiga responden itu 2 di antaranya berlatar belakang non Kristen. Dari pendalaman pertanyaan keduanya memiliki semangat yang “mirip” yaitu ingin memahami iman Kristen dan menemukan jawaban bahwa iman Kristen diyakini lebih baik daripada agama lamanya. Satu responden yang berlatar belakang Kristen menghayati pendalaman iman diperlukan untuk menjawab kehidupan sehari-hari.

Isi Ketekisasi
Sesuai buku Tumbuh dalam Kristus
Sesuai Alkitab

Hampir semua katekisan menerima katekisasi dari buku Tumbuh dalam Kristus. Pengajar mengajar dengan urut-urutan yang sesuai.

Satu dari 14 responden menyampaikan bahwa katekisasi yang pernah dijalaninya sesuai dengan Alkitab. Diawali dari membahas kisah-kisah penciptaan hingga akhir jaman.

Terkait dengan isi katekisasi ini, dalam jajak pendapat saya menemukan pula beberapa katekisan atau mantan katekisan menyatakan lupa dengan isi katekisasi. Ketika dilakukan pendalaman terhadap responden, mengapa lupa? Ada beberapa penyebab seperti:
Karena dulu ikut katekisasi supaya bisa mengikuti sidi.
Pelaksanaan katekisasi yang kurang pas, yaitu sore hari [usai pulang sekolah] sehingga masih capek dan mengantuk.
Pengajarnya monoton, sehingga katekisan mengantuk dan merasa bahan yang diajarkan sulit dicerna.

Metode pengajaran
Ceramah
Diskusi pengalaman
Membuat tulisan dari rumah/PR dan mendiskusikan saat katekisasi

Semua dilakukan di dalam ruangan seperti di konsistori, ruang tamu pastori, atau ruang khusus yang disediakan oleh gereja.

Semua responden menyampaikan bahwa ceramah adalah metode katekisasi. Pengajar katekisasi menyampaikan ceramah dengan berbagai cara seperti:

Pengajar duduk bersama katekisan dari awal hingga akhir.
Pengajar menyampaikan ceramah sambil berdiri dan semua peserta duduk.
Pengajar menggunakan multimedia untuk menyampaikan bahan-bahan katekisasi.
Pengajar menyampaikan pengajaran sambil menulis di papan tulis dan katekisan menulis materi yang ditulis pengajar di bukunya masing-masing.

Diskusi Pengalaman/sharing pengalaman
Tidak semua katekisan menyampaikan pengajar menggunakan metode sharing pengalaman dalam katekisasi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat katekisan yang menerima katekisasi satu arah, di mana pengajar memberikan materi dan katekisan mendengar, mencatat materi dari pengajar. Metode diskusi atau sharing pengalaman merupakan metode yang disukai oleh katekisan. Alasannya adalah: dengan sharing pengalaman katekisan dapat mengungkapkan perasaan, pengalaman, merasa diterima serta tidak mengantuk pada saat katekisasi.

Satu dari 14 katekisan menyatakan bahwa pengajar katekisasi membiasakan semua katekisan membuat tulisan atau ringkasan khotbah Minggu di rumah dan menjadikan tulisan atau ringkasan khotbah itu sebagai bahan diskusi dalam katekisasi. Katekisan mengungkapkan perasaan senang dengan metode ini karena sekalipun dipaksa aktif tetapi mendapat manfaat dari tulisan dan diskusi.

Pengajar
Semua responden mengatakan bahwa katekisasi diajar oleh pendeta atau calon pendeta.
Sejauh ini dalam jajak pendapat yang saya lakukan, belum menemukan penatua jemaat mengajar katekisasi.

Interaksi antara pengajar dan katekisan dan antar katekisan
Semua responden menyatakan bahwa hubungan dengan pengajar katekisasi terbuka dan nyaman. Pengajar katekisasi yang adalah pendeta/capen dirasakan hangat, terbuka dan berbeda dengan saat berkhotbah. Ada dua responden yang mengatakan bahwa pengajarnya tampak lebih menarik menyampaikan katekisasi daripada saat menyampaikan khotbah.

Dari responden yang di dalam gerejanya terdapat beberapa pendeta ditemukan pula model pengelolaan kelas. Dari beberapa pendeta ada yang melakukan katekisasi dengan model team pengajar. Pengajar menyampaikan katekisasi dengan cara bergantian. Tetapi ada pula yang masing-masing pengajar membuka kelas. Katekisan dapat memilih pengajar yang dirasa cocok bagi dirinya.

Di beberapa jemaat, pengajar katekisasi memberikan tugas wajib bagi katekisan untuk terlibat dalam pelayanan di gerejanya seperti: paduan suara, mengajar sekolah minggu, aktif di komisi remaja, terlibat dalam pelayanan ibadah minggu. Saya tidak mendalami kaitan antara keikutsertaan katekisan dalam aktifitas gerejawi dengan relasi dengan sesama katekisan dan pengajar katekisasi. Saya juga belum sempat mendalami apakah keikutsertaan mereka dalam kegiatan gerejawi itu menumbuhkan iman.

Di antara katekisan terbangun relasi dan persahabatan. Dari jajak pendapat, saya menemukan beberapa kelas katekiasasi yang heterogen dari sisi usia. Ada katekisan yang masih remaja da nada pula katekisan yang usianya lebih tua [25, 37, 42 tahun]. Meski rentang usia berbeda, katekisan yang berusia lebih tua dapat menikmati persahabatan dengan katekisan yang lebih muda [remaja]. Demikian juga sebaliknya, katekisan remaja dapat menikmati relasi dengan katekisan yang usianya lebih tua.

Pengalaman iman dalam katekisasi
Satu dari 14 responden menceritakan pengalaman iman dari katekisasi. Yang dimaksud dengan pengalaman iman adalah penghayatan katekisan terhadap materi-materi yang disampaikan oleh pengajar katekisasi dan permenungan terhadap kehidupan sehari-hari.

Dampak katekisasi bagi kehidupan
Ketika katekisan ditanya,”Apa dampak katekisasi untuk hidup Anda?” Saya menemukan bahwa katekisan sulit menemukan dampak katekisasi bagi hidup. Hal itu tampak dari jawaban yang sangat normatif seperti: mendapat pengetahuan tentang Firman Tuhan. Ketika jawaban itu didalami, katekisan sulit menemukan apa kaitan pengetahuan tentang Firman Tuhan dengan kehidupan sehari-hari. Ada pula katekisan yang ikut katekisasi 2 tahun lalu benar-benar lupa dengan materi katekisasi yang pernah didapat dari pengajar katekiasasi.

Harapan terhadap katekisasi
Di bagian akhir jajak pendapat yang saya lakukan, saya meminta responden menyampaikan harapan-harapan mereka teradap katekisasi. Bagi yang sudah selesai katekisasi, saya menanyakan: seandainya Anda saat ini ikut ketakisasi, apa yan Anda harapkan dari katekisasi. Berikut harapan-harapan responden terhadap katekisasi.

Bahan relevan
Pengajar yang proaktif
Metode menarik
Persekutuan
Pembinaan pasca katekisasi
Bahan yang relevan
Beberapa responden menyampaikan harapan supaya bahan yang digunakan dalam katekisasi relevan. Bahan-bahan yang relevan adalah bahan-bahan yang menjawab kehidupan sehari-hari. Tantangan hidup yang semakin berat membutuhkan jawaban. Ketika dilakukan pendalaman supaya menyebut bahan-bahan yang relevan, responden menyebut antara lain: iman dan teknologi, jawaban iman Kristen pada hal-hal sehari-hari seperti: pacaran, seksualitas, kepemimpinan, problematika hidup. Bila dikaitkan dengan jawab responden terhadap penggunaan bahan katekisasi, rupanya harapan ini menjadi jawaban perlunya GKI SW Jateng menyusun bahan ketekisasi yang relevan dengan situasi saat ini. Ada pula responden yang menyatakan harapan supaya bahan katekisasi tidak normatif-dogmatis.

Pengajar yang proaktif
Pengajar yang proaktif menjadi harapan kedua terbanyak dari responden. Baik katekisan yang saat ini masih mengikuti katekisan maupun mantan katekisan menyampaikan hal yang serupa. Apa yang dimaksud proaktif? Proaktif memang kata yang sengaja saya pilih untuk menyimpulkan harapan-harapan responden terkait dengan pengajar katekisasi. Di sini, proaktif saya maknai dengan lebih aktif [sesuai KKBI]. Pengajar mesti lebih aktif dalam:
Melakukan persiapan. Ada responden yang menyampaikan bahwa kadang tampak pengajar tidak melakukan persiapan dengan baik.
Menggunakan metode yang menarik. Pengajar dapat memakai sarana-sarana teknologi dalam menyampaikan katekisasi.
Melibatkan katekisan dalam katekisasi. Responden menyatakan senang ketika diajak diskusi, sharing. Harapan ini menjadi acuan bagi pengajar untuk meningkatkan kemampuan bertanya, mengajak katekisan berdiskusi, menyampaikan gagasan yang membuat katekisan merasa dirinya bermakna.

Metode Katekisasi
Responden mengharapkan penggunaan metode yang menarik dalam katekisasi. Pengajaran katekisasi dapat dilakukan dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti:
Menonton film dan diskusi
Dinamika kelompok [games, outbond]
Pengamatan
Membuat tulisan
Persekutuan
4 dari 14 responden mengharap katekisasi bukan seperti kelas di sekolah yang hanya berkutat pada pengetahuan tetapi juga menjadi persekutuan yang membangun, akrab, saling menguatkan di antara katekisan.

Keterlibatan Orang Tua Katekisan
Seorang responden menceritakan bahwa di jemaatnya terdapat tradisi pertemuan antara orang tua calon katekisan bersama dengan Majelis Jemaat. Dalam pertemuan itu Majelis Jemaat meminta orang tua calon katekisan turut dalam pembinaan iman bagi putra-putrinya yang siap mengikuti katekisasi. Melalui pertemuan itu orang tua calon katekisan juga dapat memberikan gambaran tentang anak-anaknya yang siap katekisasi.

Berdasar pengalaman ini, adalah baik bila Majelis Jemaat di GKI SW Jawa Tengah membuat tradisi baru dalam katekisasi yaitu keterlibatan orang tua [keluarga] dalam proses katekisasi. Dengan melibatkan keluarga, jemaat akan melakukan pembinaan iman yang terintegrasi.
Pembinaan pasca katekisasi
Sebenarnya katekisasi adalah upaya pendidikan iman Kristen yang berkesinambungan dan tidak hanya sebagai prasyarat menerima baptis dewasa dan menyatakan pengakuan iman. Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa katekisasi dihayati sebagai cara mendapat ijin bisa sidi dan baptis dewasa. 4 dari 14 responden mengharap perlunya pembinaan pasca katekisasi atau pembinaan berkesinambungan. Dibutuhkannya pembinaan berkelanjutan adalah supaya anggota jemaat mendapat pemahaman, penguatan, pendampingan dari gereja dalam kehidupan sehari-hari.

Penutup
Sebuah jajak pendapat akan bermakna bila hasilnya dipergunakan sebagai acuan untuk perbaikan. Oleh karena itu melalui jajak pendapat ini saya berharap terwujud “revolusi” katekisasi di GKI SW Jawa Tengah.

Bacaan
Bahan katekisasi GKI Jawa Tengah, Tumbuh Dalam Kristus.
Frommel, Marie Claire Barth [2006], Hati Allah bagaikan Hati Seorang Ibu, Jakarta, BPK GM.
Haryatmoko [2010], Dominasi Penuh Muslihat, Jakarta, Gramedia.
Semiawan, Conny R [2010], Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta, Grasindo

B. Pembinaan Pemimpin Katekisasi GKI SW Jateng 

“REVOLUSI” KATEKISASI
9-10 Februari 2015

Sesi 1 (Diskusi Panel)
Apa kabar Katekisasi?
Pdt. Tabita Kartika Christiani

Pendahuluan

Katekisasi merupakan salah satu kegiatan penting dan pokok di Gereja Kristen Indonesia. Seperti lazimnya gereja-gereja Calvinis, GKI menempatkan katekisasi sebagai syarat untuk sidi atau pengakuan percaya atas baptisan anak. Tata Laksana GKI pasal 24 ayat 2.d. tentang salah satu syarat sidi adalah:
Telah menyelesaikan katekisasi. Jika ada orang yang katekisasinya diselesaikan di gereja lain yang mempunyai perbedaan ajaran dengan GKI, ia perlu diperlengkapi dengan penjelasan tentang pokok-pokok ajaran yang berbeda itu dan pengenalan tentang GKI.

Oleh karena itu GKI perlu memiliki buku katekisasi. Tata Laksana GKI pasal 12 ayat 2 menyatakan bahwa buku katekisasi GKI terdiri dari: “Tumbuh dalam Kristus” dan “Tuhan Ajarlah Aku.” Buku “Tumbuh dalam Kristus” merupakan buku katekisasi GKI Jawa Tengah dan “Tuhan Ajarlah Aku” merupakan buku katekisasi GKI Jawa Timur; keduanya diadopsi menjadi buku-buku katekisasi GKI. Namun demikian di GKI SW Jateng buku yang lebih sering dan umum dipakai untuk katekisasi adalah “Tumbuh dalam Kristus.”

Tulisan ini mencoba untuk membahas pengertian, tujuan, isi, dan kurikulum katekisasi dari sudut Pendidikan Kristiani.

Pengertian Katekisasi

Kata “katekisasi” berasal dari bahasa Yunani katekhein, yang berarti memberitakan, memberitahukan, mengajar, memberi pengajaran. Dalam Perjanjian Baru istilah katekhein dipakai pada Luk 1:4; Kis 18:25; 21:21, 24; Rm 2:17-18; 1 Kor 14:19; Gal 6:6 (dalam berbagai bentuk kata, namun berakar kata sama). Pada ayat-ayat ini kata katekhein dipakai untuk menunjukkan aktivitas pengajaran iman Kristen yang dilakukan para rasul kepada orang-orang yang menjadi percaya kepada Yesus. Pengajaran iman ini sejajar dengan kebiasaan orang Yahudi yang melakukan pendidikan Taurat di sinagoge (beth-ha-syefer – tingkat dasar, dan beth-ha-midrash – tingkat lanjut). Pengajaran iman ini sangat penting karena orang-orang yang menjadi percaya kepada Yesus berasal dari berbagai latar belakang keyakinan (orang Yahudi, orang Yahudi berbahasa Yunani, orang bukan Yahudi yang memeluk agama Yahudi, dan orang bukan Yahudi).

Dari arti kata katekhein ini, Tata Laksana GKI pasal 26 menjelaskan tentang katekisasi sebagai berikut:
Katekisasi adalah pendidikan iman dan ajaran tentang pokok-pokok iman Kristen untuk mempersiapkan katekisan menjadi anggota sidi yang memahami dan melaksanakan tugas panggilannya dalam kehidupannya secara utuh.
Katekisasi dilaksanakan oleh Majelis Jemaat dan dilayankan oleh pendeta atau orang yang ditunjuk oleh Majelis Jemaat.
Katekisasi berlangsung selama sembilan (9) sampai dua belas (12) bulan yang diselenggarakan seminggu sekali dengan menggunakan buku katekisasi yang disebutkan dalam Tata Laksana Pasal 12.
Bagi kasus-kasus tertentu di mana calon tidak dapat mengikuti katekisasi menurut waktu yang ditentukan, Majelis Jemaat menentukan lama penyelenggaraan dan menyesuaikan bahan katekisasinya.

Tujuan Katekisasi

Tata Laksana GKI pasal 26 ayat 1 tersebut menyatakan bahwa tujuan katekisasi adalah untuk “mempersiapkan katekisan menjadi anggota sidi yang memahami dan melaksanakan tugas panggilannya dalam kehidupannya secara utuh.”

Jadi katekisasi merupakan bagian khusus dari pembinaan iman, yaitu dalam rangka menyiapkan orang-orang yang mau menjadi anggota sidi GKI. Pembinaan iman itu sendiri terjadi seumur hidup, mulai dari janin sampai seseorang meninggal dunia. Biasanya pembinaan iman dilakukan secara kategorial usia: anak, remaja, pemuda, dewasa, dan usia lanjut. Katekisasi dapat ditujukan untuk orang-orang berusia remaja, pemuda, dewasa, dan usia lanjut, saat mereka bersedia untuk menjadi anggota sidi GKI.

Dengan demikian katekisasi bukanlah satu-satunya pembinaan iman. Sangat keliru jika seseorang merasa setelah selesai katekisasi dan sidi ia tidak perlu mengikuti pembinaan iman lagi, karena sudah lulus. Maka ada jemaat yang melakukan katekisasi pasca sidi, agar anggota jemaat itu tetap mengikuti pembinaan iman. Namun sebenarnya tidak harus diadakan acara khusus yang disebut katekisasi pasca sidi. Jemaat bisa menggalakkan kembali acara Pemahaman Alkitab yang diberi nama baru dan dikemas secara lebih menarik dan mengena (direvolusi).

Isi Katekisasi

Jika buku katekisasi yang dipakai adalah “Tumbuh dalam Kristus,” maka sistematika buku murid adalah sebagai berikut:
Pasal 1: Pendahuluan
Pasal 2-25: Benih Ditaburkan
Pasal 26-39: Tumbuh dan Berbuah
Pasal 40: Penutup

Bagian “Benih Ditaburkan” berisi sejarah keselamatan, sebagaimana dinyatakan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Sejarah keselamatan diawali dari penciptaan, kejatuhan ke dalam dosa, janji keselamatan, penggenapan janji keselamatan dalam Yesus, karya Roh Kudus, hingga akhir zaman. Sejarah keselamatan menunjukkan karya keselamatan dari Allah yang telah, sedang, dan akan dilakukan-Nya.

Bagian “Tumbuh dan Berbuah” berisi jawaban manusia atas keselamatan dari Allah, yaitu iman, persekutuan, kesaksian dan pelayanan.

Dari sistematika ini jelas isi atau materi katekisasi merupakan pemahaman iman yang paling mendasar, yang ditujukan kepada orang-orang Kristen baru. Kemungkinan besar konteks pada masa penulisannya (1972-1976) adalah banyaknya orang-orang yang menjadi simpatisan, dan kemudian menjadi anggota GKI. Mereka ini membutuhkan pemahaman iman Kristen yang paling mendasar dan sederhana. Sehingga saat materi “Tumbuh dalam Kristus” disampaikan kepada remaja yang sudah rajin mengikuti Sekolah Minggu sejak kecil, terasa sekali bagian “Benih Ditaburkan” menjadi pengulangan pelajaran Sekolah Minggu.

Di samping itu hal-hal yang kontekstual di Indonesia, seperti pluralitas agama dan budaya, kemiskinan, ketidakadilan, pelanggaran hak-hak azasi manusia, kekerasan, peran orang Kristen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi belum mendapatkan porsi yang cukup. Maka guru katekisasi semestinya mengolah kembali materi “Tumbuh dalam Kristus” agar menjadi relevan dan kontekstual untuk masa kini.

Kurikulum Katekisasi

Buku katekisasi “Tumbuh dalam Kristus” disusun oleh Komisi Buku Katekisasi yang terdiri dari Pdt. J. Tjahjaputra, Pdt. J.D.A. de Zwart, Pdt. The Khoen Bik, dan Pdt. J.S. Probosukmono untuk periode pertama 1972-1974, dan ditambah Ibu Nik K. Atmadja (yang saat itu belum menjadi pendeta) untuk periode kedua 1974-1976. Tidak dijelaskan bagaimana caranya kurikulum katekisasi “Tumbuh dalam Kristus” disusun, dan bagaimana menentukan tujuan serta materinya. Sehingga buku ini lebih merupakan buku pegangan ajaran gereja (dogma), dan bukan buku ajar atau modul yang mengikuti kaidah-kaidah buku pelajaran.

“Tumbuh dalam Kristus” ditujukan untuk katekisan secara umum, sehingga masih harus diolah lagi untuk disesuaikan bagi peserta yang beragam usia, misalnya untuk kelompok remaja, pemuda, dewasa, atau usia lanjut, serta beragam latar belakang pendidikan.
Semestinya guru katekisasi menyusun rancangan pelajaran untuk setiap kali pertemuan katekisasi, agar seluruh pelajaran dapat terarah dan bervariasi. Apakah hal ini sudah dilakukan? Atau katekisasi menjadi sesuatu yang rutin sehingga guru sudah hafal bagaimana mengajarkannya? Apakah katekisan banyak bertanya? Ataukah mereka penerima pasif? Apakah ada perbedaan pengolahan kelas antara kelompok katekisasi yang satu dengan yang lain karena perbedaan usia dan latar belakang pendidikan?

Kebanyakan kelompok katekisasi menggunakan model instruksional. Guru yang menguasai kelas dan menyiapkan segala sesuatu. Guru banyak memberikan pengajaran agar katekisan memahami iman Kristen dan penerapannya dalam hidup sehari-hari. Model intsruksional memang menolong untuk penyampaian materi yang cukup banyak dan padat, namun model ini sebenarnya tidak cukup. Sebab sesungguhnya katekisan juga memiliki banyak pertanyaan iman yang mungkin tidak tercakup dalam materi katekisasi. Misalnya praremaja (kelas 7 dan 8) GKI Ngupasan ketika diminta menuliskan apa yang menjadi pertanyaan dalam diri mereka berkenaan dengan iman Kristen, hasilnya sungguh mencengangkan. Mereka bertanya apakah Allah orang Kristen sama dengan Allah agama-agama lain, kalau Tuhan satu mengapa ada banyak agama, mengapa Katolik dan Protestan tidak menjadi satu agama saja, juga pertanyaan-pertanyaan tentang akhir zaman dan kitab Wahyu. Apakah pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan mendapat jawaban dalam katekisasi? Jika hanya memakai “Tumbuh dalam Kristus” apa adanya, tentu saja tidak terjawab.

Maka dibutuhkan pendekatan yang personal untuk mengenal katekisan satu per satu, baik tentang pertanyaan maupun pergumulan imannya. Apakah ia sungguh percaya kepada Tuhan, mengalami perjumpaan dengan Tuhan, mau setia dan mengasihi Tuhan, menjadi manusia yang dikehendaki Tuhan, dan menjadi berkat bagi sesama. Hal-hal ini tidak cukup hanya ditanyakan menjelang sidi melalui percakapan formal dengan Majelis Jemaat atau dedication service. Semestinya guru katekisasi menemani katekisan sepanjang proses katekisasi, sehingga tampak bagaimana pertumbuhan iman katekisan satu per satu. Apakah ini sudah dilakukan?

Penutup

Katekisasi merupakan salah satu fungsi gereja yang sangat penting, untuk mempersiapkan orang menjadi anggota sidi GKI. GKI SW Jawa Tengah telah memiliki buku katekisasi “Tumbuh dalam Kristus” sejak tahun 1970-an, bahkan diadopsi GKI saat penyatuan. Mengingat buku ini sudah lama sekali dan ditulis dalam konteks zamannya, maka jika dipakai sekarang sudah semestinya ada banyak modifikasi, baik dalam isi maupun kurikulumnya, sesuai dengan usia dan latar belakang pendidikan katekisan.

Daftar Pustaka

Abineno, J.L.Ch. Sekitar Katekese Gerejawi: Pedoman Guru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002 (cetakan kelima).
GKI Jawa Tengah. Tumbuh dalam Kristus: Buku Guru. Magelang: GKI Jawa Tengah, 1980.
GKI Jawa Tengah. Tumbuh dalam Kristus: Buku Guru. Magelang: GKI Jawa Tengah, 1980.
Purwanto, Lazarus H. “Katekismus Heidelberg” dan “Tumbuh dalam Kristus” (Sebuah Perbandingan). Pelatihan Pemimpin Katekisasi GKI Jawa Tengak 1993.
Seymour, Jack L. ed. Mapping Christian Education: Approaches to Congregational Learning. Nashville: Abingdon Press, 1997.
Tata Gereja GKI tahun 2009.

C. Pembinaan Pemimpin Katekisasi GKI SW Jateng 

“REVOLUSI” KATEKISASI
9-10 Februari 2015

Sesi 2 (Diskusi Panel)
Quo Vadis Katekisasi?
Pdt. Tabita Kartika Christiani

Pendahuluan

Setelah dibicarakan tentang katekisasi yang selama ini sudah dilakukan di jemaat-jemaat, maka pada sesi ini dibicarakan tentang harapan mengenai pelaksanaan katekisasi ke depan. GKI sedang berencana untuk menyusun buku katekisasi yang berdasar pada Konfesi GKI yang telah diterima dalam Persidangan Majelis Sinode bulan Desember 2014. Belum ada pertemuan untuk membahas buku katekisasi yang baru ini. Jadi masukan dari peserta dapat diberikan. Sama seperti sesi 1, makalah ini memakai sistematika: tujuan, isi, dan kurikulum katekisasi.

Tujuan Katekisasi

Tujuan katekisasi menurut Tata Laksana GKI pasal 26 ayat 1, yakni untuk “mempersiapkan katekisan menjadi anggota sidi yang memahami dan melaksanakan tugas panggilannya dalam kehidupannya secara utuh” merupakan rumusan yang sangat umum, sehingga perlu dijabarkan secara lebih detil.

Katekisan berasal dari kelompok usia yang berbeda: remaja, pemuda, dewasa, dan usia lanjut. Tiap kelompok usia memiliki ciri-ciri dan pergumulan hidup yang berbeda. Katekisasi untuk remaja pasti berbeda dari usia lanjut. Kelompok remaja merupakan kelompok yang relatif homogen; biasanya mereka merupakan siswa SMP-SMA/SMK. Mulai usia pemuda semakin lama semakin banyak variasi katekisan, sehingga kelompok menjadi lebih heterogen. Misalnya pemuda ada yang masih kuliah, ada yang sudah bekerja; perbedaan ini dapat berpengaruh terhadap pergumulan hidup dan pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan. Demikian pula orang dewasa dan usia lanjut memiliki perbedaan yang semakin kompleks, yakni profesi yang berbeda, latar belakang pendidikan yang berbeda, demikian pula berbagai perbedaan sosial kultural. Ada pula kelompok katekisasi yang heterogen dari segi usia, dan berbagai latar belakang.

Maka buku katekisasi pun dapat dibuat lebih dari satu untuk buku murid, sesuai dengan kelompok usia dan latar belakang pendidikan. Misalnya buku murid untuk remaja, pemuda, orang dewasa, usia lanjut, dan versi sederhana. Sedangkan buku guru dapat disusun satu macam saja.

Karena setiap orang berbeda, maka katekisasi semestinya tidak hanya dilakukan dalam kelas, namun juga pendampingan pribadi masing-masing. Sehingga sidi bukanlah formalitas atau ikut-ikutan, melainkan benar-benar didasari iman yang sungguh-sungguh. Dengan demikian setelah sidi mereka dapat benar-benar melaksanakan tugas panggilannya dalam kehidupannya secara utuh (lahir, batin, sosial), dan terus berkembang seumur hidup.

Isi Katekisasi

Tetap dibutuhkan buku katekisasi GKI sebagai pedoman, namun tetap dimungkinkan modifikasi, penekanan tertentu, dan sebagainya, sesuai dengan kebutuhan setiap kelompok.

Materi katekisasi tidak hanya ajaran GKI secara umum dan mendasar, namun harus kontekstual sesuai dengan Konfesi GKI. Berikut ini konsep Konfesi GKI sebelum Persidangan Majelis Sinode Desember 2014:

1. Allah yang kami sembah dalam ketakjuban adalah Allah Tritunggal, Bapa, Anak, dan Roh Kudus, yang berbeda satu dengan yang lain, dan yang satu dalam persekutuan kasih, yang dalam kerahiman-Nya menciptakan, menyelamatkan, dan memelihara seluruh ciptaan.
2. Kami percaya kepada Allah, yang dipanggil Bapa oleh Yesus Kristus,
3. yang mengasihi seluruh ciptaan-Nya,
4. seperti ibu dan ayah yang memelihara dan yang menyongsong kami, anak-anak-Nya yang hilang,
5. yang mengundang kami untuk mengambil bagian dalam pekerjaan-pekerjaan baik bagi seluruh ciptaan-Nya.
6. Kami percaya kepada Yesus Kristus,
7. Anak Allah yang dikandung oleh kuasa Roh Kudus dan dilahirkan dari rahim perawan Maria,
8. yang diutus untuk menegaskan Pemerintahan Allah bagi seluruh ciptaan dengan:
9. mengampuni orang berdosa dan menuntut pertobatan,
10. memberkati setiap pribadi, keluarga, dan anak-anak,
11. memberdayakan orang miskin,
12. memulihkan orang sakit,
13. membebaskan orang tertindas,
14. menjadi sahabat bagi orang yang diasingkan,
15. melawan semua bentuk diskriminasi dengan menegakkan keadilan dan kebenaran, tanpa kekerasan,
16. yang menempuh jalan penderitaan hingga mati di kayu salib, untuk menyatakan kasih yang melenyapkan ketakutan,
17. yang dibangkitkan dari kematian, untuk melampaui kuasa dosa dan kejahatan, serta mengaruniakan kehidupan abadi,
18. yang naik ke surga, agar kami mempersaksikan kasih-Nya kepada segala bangsa dan seluruh ciptaan,
19. yang akan datang kembali untuk membarui segala sesuatu, agar kami mampu merayakan kehidupan dan kematian di dunia ini.
20. Kami percaya kepada Roh Kudus,
21. Sumber kehidupan yang menolong kami untuk mengaku percaya bahwa Yesus adalah Tuhan,
22. yang memberikan berbagai karunia dan mempersekutukan kami sebagai satu Gereja yang kudus, am, dan rasuli,
23. yang memberdayakan kami untuk memberitakan kabar baik dan untuk ikut mewujudkan keadilan dan perdamaian
24. Kemuliaan kepada Bapa, Anak dan Roh Kudus, yang tidak pernah memisahkan kami dari kasih-Nya, sekarang dan selama-lamanya. Amin.

Materi katekisasi yang standar seperti Doa Bapa Kami, 10 perintah Allah, Pengakuan Iman Rasuli, sakramen, persekutuan, kesaksian, dan pelayanan tentu harus ada dalam buku katekisasi, namun harus didialogkan dengan kehidupan masa kini – sebagaimana disebutkan dalam Konfesi GKI. Dengan demikian buku katekisasi menjadi kontekstual dan relevan. Buku katekisasi bukanlah buku baku yang berlaku selamanya, melainkan dalam kurun waktu tertentu (sekitar 20-30 tahun).

Kurikulum Katekisasi

Jack Seymour mendefinisikan pendidikan kristiani sebagai “suatu percakapan untuk kehidupan, suatu pencarian untuk menggunakan sumber-sumber iman dan tradisi-tradisi budaya, untuk bergerak ke arah masa depan yang terbuka terhadap keadilan dan pengharapan.” Jadi pendidikan kristiani bukan sekedar mengajarkan dan menghafalkan serta mengulang-ulang statement atau kalimat-kalimat pernyataan iman dari orang-orang Kristen abad-abad yang lampau, menghafal ayat dan cerita-cerita Alkitab. Pendidikan kristiani mempertemukan sumber-sumber iman (Alkitab, ajaran dan tradisi Gereja) dengan tradisi budaya (tidak hanya budaya suku-suku, tapi cara hidup atau budaya masa kini), untuk melakukan pembaharuan ke arah masa depan yang lebih sesuai dengan pemerintahan Allah.

Dari definisi tersebut selanjutnya Seymour memetakan ada empat pendekatan pendidikan kristiani, yakni pendekatan instruksional, pertumbuhan spiritual, komunitas iman, dan transformasi sosial. Pendekatan instruksional menekankan proses belajar mengajar dalam kelas. Pendekatan pertumbuhan spiritual menekankan pertumbuhan spiritualitas individu-individu masing-masing. Pendekatan komunitas iman menekankan pertumbuhan iman individu dalam komunitas melalui proses aksi-refleksi. Pendekatan transformasi menekankan keterlibatan dalam transformasi sosial di tengah-tengah masyarakat.

Ditinjau dari keempat pendekatan tersebut, semestinya katekisasi memilih pendekatan komunitas iman, agar setiap katekisan bertumbuh dalam komunitas iman. Dengan demikian katekisasi tidak lagi sangat instruksional, melainkan dikemas dari pengalaman katekisan yang didialogkan dengan iman Kristen. Ini sesuai dengan Konfesi GKI yang memulai kalimat dengan kata “Kami percaya…” dan bukan individual “Aku percaya…” seperti konfesi-konfesi tradisional.

Melalui pendekatan komunitas iman katekisasi bisa dipusatkan pada gereja (ekklesiologi) di mana katekisan telah berada dalam komunitas iman. Kemudian direnungkan kembali, bagaimana kita semua berada dalam komunitas iman. Maka pembicaraan tentang kasih dan karya Tuhan menjadi pangkal adanya komunitas iman. Selanjutnya kurikulum dapat disusun berdasar sejarah keselamatan khususnya untuk versi sederhana. Bisa juga Trinitarian, namun mesti ditekankan bukan berarti ada tiga Allah yang bergantian berkarya! Apapun bentuk kurikulum katekisasi, mesti bersifat kontekstual dan inklusif, serta relevan dalam kehidupan katekisan.

Sekalipun ada buku-buku katekisasi secara sinodal, setiap kelompok katekisasi dapat menyusun kurikulumnya dengan berpedoman dasar pada buku katekisasi resmi. Jadi ada fleksibilitas, namun tidak ke luar dari koridor ajaran GKI.

Penutup

Harapan ke depan katekisasi dapat dilaksanakan dengan lebih relevan dengan kehidupan nyata katekisan. Maka pemimpin katekisasi mesti mengenali katekisan dan menyusun kurikulum yang tepat, dengan mengacu pada buku-buku katekisasi sinodal.

Daftar Pustaka

Konfesi GKI.
Seymour, Jack L. ed. Mapping Christian Education: Approaches to Congregational Learning. Nashville: Abingdon Press, 1997.
Tata Gereja GKI tahun 2009.

D. Pembinaan Pemimpin Katekisasi GKI SW Jateng 

“REVOLUSI” KATEKISASI
9-10 Februari 2015

Sesi 3
Merancang Kurikulum Katekisasi yang Kontekstual
Pdt. Tabita Kartika Christiani

Pendahuluan

Seperti telah dikemukakan pada sesi 1 dan 2, guru katekisasi dapat merancang kurikulum setiap kelas katekisasi secara kontekstual, sesuai dengan usia dan latar belakang pendidikan. Karena itu sangat penting untuk belajar menyusun suatu kurikulum. Maka makalah ini dimulai dari pengertian kurikulum secara umum dalam teori pendidikan, kemudian bagaimana merancang kurikulum katekisasi yang kontekstual

Pengertian Kurikulum

Pengertian dan definisi “kurikulum” sangat beragam. Setiap ahli pendidikan menyusun definisinya sendiri. Ada pengertian kurikulum yang sangat luas, yang mencakup mulai dari ide dasar hingga pelaksanaan dan evaluasi proses belajar mengajar di sekolah dan dampaknya di tengah masyarakat. Namun ada pula yang mendefinisikannya secara sempit, yaitu sebagai seperangkat atau suatu susunan matakuliah/ matapelajaran dari suatu sekolah. Maka S. Nasution mengemukakan bahwa kurikulum mengandung empat unsur: sebagai produk, sebagai program, sebagai hal-hal yang dipelajari siswa, dan sebagai pengalaman siswa (as a product, as a program, as intended learning, as experiences of the learners).

Mengutip Hilda Taba (1902-1967), seorang ahli pendidikan, Nasution menyatakan bahwa kurikulum adalah suatu cara untuk mempersiapkan naradidik agar berpartisipasi sebagai anggota yang produktif dalam masyarakat. Jadi kurikulum bukan sekedar mencakup hal-hal yang dirasa sekolah penting untuk diajarkan, melainkan selalu terkait dengan masyarakat. Itu sebabnya kurikulum selalu berubah, disesuaikan dengan konteks yang baru dalam masyarakat. Misalnya adanya perubahan sosial, politik, ekonomi, teknologi dsb.

Sejalan dengan itu, Ralph Tyler (1902-1994), seorang ahli pendidikan yang teorinya menjadi klasik, menunjukkan bahwa kehidupan masa kini di luar sekolah (contemporary life outside the school) merupakan salah satu komponen penting dalam pertimbangan penyusunan kurikulum. Menurut Tyler ada empat langkah penyusunan kurikulum:
Pengumpulan data dari sumber-sumber (peserta didik, kehidupan masa kini, bidang studi)
Penyusunan tujuan pendidikan tentatif
Pengujian terhadap tujuan pendidikan tentatif, dengan dua kriteria: filsafat pendidikan dan psikologi belajar
Perumusan tujuan yang menggambarkan kontinuitas, urutan dan integrasi

Tujuan – Filsafat Pendidikan Psikologi Belajar- Tujuan Tentatif- Data dari: Peserta didik Kehidupan masa kini – Bidang Studi

Peserta didik: siapakah mereka? Apa latar belakang dirinya? Bagaimana pengalaman mereka secara umum dan secara khusus dalam konteks masing-masing? Bagaimana kemampuan individual setiap peserta didik?

Kehidupan masa kini terkait dengan masyarakat. Dalam rangka penyusunan kurikulum katekisasi, masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat luas dan juga gereja.

Pendekatan Kurikulum

Ada tiga macam pendekatan kurikulum, yaitu kurikulum yang berorientasi pada bahan (subject matter oriented); kurikulum yang berorientasi pada tujuan (objective oriented); dan kurikulum yang berorientasi pada kompetensi (competence oriented).

Kurikulum yang berorientasi pada bahan menekankan pentingnya pencapaian target-target materi pelajaran. Maka diri naradidik kurang mendapat perhatian, kecuali pencapaiannya dalam hal penguasaan materi pelajaran.
Kurikulum yang berorientasi pada tujuan menekankan pentingnya tujuan yang mengarahkan tujuan akhir pendidikan.
Kurikulum yang berorientasi pada kompetensi menekankan penguasaan kompetensi naradidik. Kompetensi ini dicapai secara bertahap, sehingga proses pembelajaran sangat diperhatikan karena merupakan kompetensi yang terus berkembang.

Untuk mengembangkan kurikulum katekisasi tentu saja yang paling tepat adalah kurikulum yang berorientasi pada kompetensi. Pendekatan ini dapat menolong guru untuk memahami apa yang terjadi dalam diri katekisan.

Desain Kurikulum

Desain kurikulum, yang disebut juga organisasi kurikulum, adalah pengaturan bagian-bagian dari perencanaan kurikulum. Adapun bagian-bagian atau komponen-komponen yang mesti diatur dalam desain kurikulum adalah: 1) tujuan; 2) materi/ isi matakuliah; 3) pengalaman pembelajaran; 4) pendekatan penilaian. Keempat komponen ini berhubungan satu sama lain dan keempatnya semestinya ada secara seimbang dalam sebuah desain kurikulum. Keempat komponen tersebut berakar dari teori klasik Harry Giles, yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Tujuan- Materi/ isi Pengalaman pembelajaran- Pendekatan- penilaian

Isi, sifat dan cara pengaturan keempat elemen ini dipengaruhi oleh filosofi kurikulum dan berbagai teori belajar. Maka desain kurikulum mencakup isu-isu filosofis atau teoritis dan praktis.

Perumusan tujuan yang sangat terinci dan hati-hati menunjukkan pemikiran modern. Tujuan dapat mengontrol peserta didik agar mencapai hasil yang diharapkan. Hal ini banyak dikritik, sehingga pandangan posmodern lebih menekankan undangan kepada peserta didik untuk berpartisipasi dalam ketidakpastian yang muncul; jadi lebih menekankan proses pembelajaran.

Dalam rangka perumusan tujuan, ranah (domain) tujuan mesti dipertimbangkan. Benjamin Bloom mencetuskan teori taksonomi atau klasifikasi tujuan sebagai berikut:

Ranah Kognitif Ranah Afektif Ranah Psikomotorik
Pengetahuan

Pemahaman

Penerapan

Analisis

Sintesis

Penilaian

Penerimaan

Penanggapan

Penilaian

Pengaturan

Bermuatan nilai

Gerakan reflex

Gerakan dasar

Gerakan tanggap

Kegiatan fisik

Komunikasi tidak berwacana

Secara umum ada tiga jenis psikologi belajar: behavioris, kognitif, dan konstruktif.
Behavioris menekankan perubahan pola perilaku, yang dilakukan melalui proses pengulangan/ penguatan sampai menjadi otomatis.
Kognitif menekankan proses berpikir, serta pemrosesan dan penyimpanan informasi.
Konstruktif menekankan pembangunan pengetahuan berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya

Kurikulum Katekisasi yang Kontekstual, Sesuai dengan Kebutuhan Jemaat dan Konteks Masa Kini

Kurikulum katekisasi yang kontekstual, dan sesuai dengan kebutuhan jemaat serta konteks masa kini mesti beranjak dari pengalaman hidup yang direfleksikan. Salah satu ahli pendidikan yang sangat menekankan pentingnya berefleksi atas pengalaman adalah John Dewey (1859-1952). Ia menekankan belajar dari pengalaman (learning by experience), “We have to understand the significance of what we see, hear, and touch.” Ini berarti kita perlu memberi makna terhadap apa yang kita alami. Pendidikan adalah perkembangan yang terjadi di dalam, oleh, dan untuk pengalaman. Namun demikian tidak semua pengalaman bersifat edukatif; hanya pengalaman yang membangun dan yang direfleksikan yang bersifat edukatif. Kita dapat belajar dari pengalaman jika kita berpikir, berefleksi, merekonstruksi dan mengajukan pertanyaan kritis terhadap pengalaman itu. Maka dalam proses pendidikan peserta didik perlu belajar untuk berpikir secara kritis untuk melihat pentingnya pengalaman itu serta berefleksi terhadap pengalaman nyata untuk belajar darinya. Menurut Dewey pendidikan merupakan proses yang disengaja, agar peserta didik memperoleh kesempatan untuk merekonstruksi pengalaman mereka.

Dengan demikian bagi Dewey pengetahuan bukanlah mengaplikasikan teori ke praktek, namun belajar melalui praktek (learning by doing). Berdasar pengalaman nyata peserta didik dapat mempelajari kebenaran pengetahuan dan rumus-rumus yang diwarisi, namun sekaligus juga dapat memperbaikinya, sehingga dimungkinkan terjadinya transformasi sosial. Maka dalam pendidikan ada proses kontinuitas. Masa lalu merupakan alat untuk mengenal masa kini, namun bukan sekedar warisan yang diteruskan. Pengalaman masa kini menyiapkan manusia untuk pengalaman masa depan yang lebih mendalam dan luas. Maka kontinuitas mengasumsikan adanya pertumbuhan, perkembangan, dan interaksi terus menerus antara kondisi internal peserta didik dan tujuan belajar. Bagi Dewey belajar dari pengalaman mengasumsikan peserta didik memiliki kemampuan, minat, kekuatan dan kesiapan, sehingga pendidikan bermula dari keberadaan peserta didik.

Dewey menuliskan teorinya berdasar pada keyakinannya tentang perkembangan pribadi/ personal. Pengalaman bersifat personal. Melalui refleksi dalam pendidikan, pengalaman mentah berubah menjadi pengalaman hidup yang bermakna. Pengalaman tidak terbatas pada pengalaman pribadi, namun mencakup pengalaman komunal, sosial, nasional, dan global. Dalam rangka Pendidikan Kristiani kontekstual di Indonesia, pengalaman itu mencakup berbagai konteks Indonesia tersebut di atas. Karena pengalaman tidak terbatas pada pengalaman pribadi, maka apa yang terjadi di manapun di Indonesia menjadi pengalaman tiap orang. Apalagi pada era informasi ini setiap orang dapat menyaksikan apa yang sedang terjadi di tempat lain. Maka apa yang disaksikan melalui media itu menjadi pengalaman yang mesti direfleksikan. Dengan demikian orang yang kaya pun memiliki pengalaman kemiskinan karena melihatnya, baik secara langsung maupun melalui media. Maka diharapkan muncul bela rasa dan empati terhadap mereka yang kurang beruntung, yang membawa pada aksi untuk menolong.

Untuk berefleksi terhadap pengalaman, dibutuhkan dialog antara pengalaman dengan tradisi iman. Proses hermeneutik ini menolong naradidik memberi makna terhadap pengalaman dan juga terhadap pemahaman iman mereka. Dalam Pendidikan Kristiani, Mary Elizabeth Moore menyebutnya model traditioning yang mempertimbangkan tradisi iman Kristen dan pengalaman hidup, guna kontinuitas dan perubahan. Traditioning adalah “process by which God’s gifts are received and passed on, not as a static box of things, but as dynamic life-changing events.” Moore mengatakan bahwa pendidikan ini terjadi dalam komunitas Kristen, yang merupakan “continually forming and reforming its faith expressions in light of its past, present, and future.” Untuk konteks Indonesia, pendapat Moore ini perlu diperluas dengan mencakup orang-orang dari agama-agama yang berbeda, yang ada dalam komunitas atau masyarakat. Dengan demikian pendidikan perdamaian sekaligus membentuk (form) dan membentuk kembali (reform) iman Kristen yang sesuai dengan konteks Indonesia yang berpotensi konflik antar pemeluk agama dan mengalami kemiskinan serta ketidakadilan – yang telah terjadi pada masa lalu, sedang terjadi pada masa kini, dan diharapkan tidak terjadi pada masa mendatang.

Merancang Kurikulum Katekisasi yang Kontekstual

Kurikulum katekisasi yang kontekstual mendialogkan pengalaman hidup dengan iman Kristen. Seorang ahli pendidikan kristiani bernama Thomas Groome mencetuskan sebuah pendekatan yang disebut Shared Christian Praxis (Berbagi Praksis Kristen). BPK ditujukan sebagai suatu metodologi edukatif yang bekerja untuk pemerintahan Allah atas seluruh ciptaan. Pemerintahan Allah adalah maksud Allah agar semua orang hidup dalam perdamaian dan keadilan, kasih dan kebebasan, keutuhan dan kepenuhan hidup (shalom) dan agar seluruh ciptaan dibawa pada kelengkapan final.

BPK juga bertujuan untuk membantu partisipan memiliki iman Kristen yang hidup. Baik pemimpin maupun peserta mengalami pertumbuhan iman secara pribadi dan bersama-sama. Iman memiliki 3 dimensi, yakni:
Believing, Kognisi (mental): berefleksi
Trusting, Afeksi (relasional): relasi dengan Allah dalam komunitas Kristen dan relasi dengan semua orang dan alam semesta
Doing, Tingkah laku: melakukan kehendak Allah di dunia

BPK berawal dari aktivitas terfokus dan dilanjutkan dengan lima gerakan (movements). Istilah “gerakan” mengindikasikan fase-fase yang dinamis dan fleksibel, bukan sebagai urutan yang kaku.
Aktivitas Terfokus (AT) = memfokuskan diri pada tema yang mengena
Pendidik dan peserta didik memfokuskan diri pada tema yang terkait dengan pengalaman kongkret, sehingga relevan dan melibatkan peserta didik.
Gerakan 1 = berbagi pengalaman masa kini
Peserta didik diminta untuk menceriterakan pengalaman mereka seputar tema itu.
Gerakan 2 = mengolah pengalaman masa kini secara kritis
Pendidik dan peserta didik mengolah atau berefleksi secara kritis terhadap pengalaman hidup yang telah diceriterakan pada gerakan 1, yaitu dengan bertanya mengapa hal itu terjadi, dan bagaimana seharusnya.
Gerakan 3 = mendengarkan Firman Tuhan
Pendidik dan peserta didik membaca dan mempelajari perikop dari Alkitab yang terkait dengan tema hari itu. Jika dibutuhkan, pemimpin menjelaskan hal-hal yang perlu. Misalnya hal-hal yang berasal dari zaman perikop itu ditulis.
Gerakan 4 = memaknai pengalaman secara baru sesuai Firman Tuhan
Pendidik dan peserta didik mendialogkan bagian dari Alkitab tsb. dengan pengalaman kongkret yang sudah direfleksikan secara kritis (gerakan 1 dan 2), guna memahami pengalaman itu dari segi iman Kristen, lalu mengambil makna bagi dirinya apa yang diberitakan oleh Alkitab.
Gerakan 5 = memperbarui hidup demi terwujudnya pemerintahan Allah
Peserta didik dan pendidik mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu sehubungan dengan pengalaman kongkret tsb., dalam rangka melaksanakan Firman Tuhan. Sedapat mungkin keputusan ini berupa rencana yang kongkret. Pertemuan ditutup dengan doa, nyanyian, atau tindakan simbolis lain untuk memohon kekuatan dari Tuhan agar dapat melaksanakan keputusan dan rencana yang sudah diambil.

Kurikulum katekisasi yang memakai pendekatan BPK selalu mendialogkan iman Kristen dengan pengalaman hidup yang kongkret, sehingga menjadi kontekstual.

Cara Penyusunan Kurikulum Katekisasi

Secara praktis urutan penyusunan kurikulum katekisasi untuk setiap kelompok adalah sbb.:
Susunlah suatu desain kurikulum yang berdasar masukan peserta, buku katekisasi, dan pendalaman guru.
Tentukan materi atau isi sesuai desain kurikulum
Tentukan bagaimana rencana penyampaian dengan memakai pendekatan BPK: tema, G1-G5. Tiap G dapat memakai metode tertentu

Diharapkan demikian diharapkan katekisasi menjadi menarik dan mengena, relevan dan kontekstual, sebab sesuai dengan pengalaman yang nyata yang didialogkan dengan iman Kristen.

Penutup

Merancang kurikulum katekisasi merupakan proses yang cukup panjang, sebab mencakup mulai dari penyusunan desain kurikulum, rancangan tiap pertemuan, hingga pelaksanaan dan evaluasi. Namun demikian mesti diingat bahwa katekisasi tidak cukup hanya di kelas tapi juga secara pribadi atau individual.

Daftar Pustaka

Dewey, John. Experience and Education, First Collier books ed., The Kappa Delta Pi Lecture Series. New York: Touchstone, 1997.
Dykstra, Craig. Vision and Character: A Christian Educator’s Alternative to Kohlberg. New York: Paulist Press, 1981.
Groome, Thomas H. Sharing Faith: A Comprehensive Approach to Religious Education and Pastoral Ministry, (San Francisco: HarperCollins Publishers, 1991).
Moore, Mary Elizabeth. Education for Continuity & Change: A New Model for Christian Religious Education. Nashville: Abingdon, 1983.
Nasution, S. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Ornstein, Allan C. dan Francis P. Hunkins. Curriculum: Foundations, Principles, and Issues. Boston: Pearson, 2004 (edisi keempat).
Seymour, Jack L. ed. Mapping Christian Education: Approaches to Congregational Learning. Nashville: Abingdon Press, 1997
Siregar, Eveline dan Hartini Nara. Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung dan Jakarta: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia dan Rajawali Pers, 2012.
Tyler, Ralph. Basic Principles of Curriculum and Instruction. Chicago: The University of Chicago Press, 1949.
Winkel, W.S. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi, 2005.
Wyckoff, D. Campbell. Theory and Design of Christian Education Curriculum. Philadelphia: The Westminster Press, 1961
Yulaelawati, Ella. Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi, Teori dan Aplikasi. Bandung: Pakar Raya, 2004.

E. Quo Vadis Katekisasi? (POWER POINT)

Pembinaan Pemimpin Katekisasi GKI SW Jateng “REVOLUSI” KATEKISASI
9-10 Februari 2015

Tujuan Katekisasi

  • mempersiapkan katekisan menjadi anggota sidi yang memahami dan melaksanakan tugas panggilannya dalam kehidupannya secara utuh (Tata Laksana pasal 26)
  •  Kelompok usia dan latar belakang pendidikan (buku >1)
  • Kelas dan pribadi

Isi Katekisasi

  • Sesuai Konfesi GKI
  •  Doa Bapa Kami, 10 perintah Allah, Pengakuan Iman Rasuli, sakramen, persekutuan, kesaksian, dan pelayanan

Kurikulum Katekisasi

Pendidikan Kristiani = suatu percakapan untuk kehidupan, suatu pencarian untuk menggunakan sumber-sumber iman dan tradisi- tradisi budaya, untuk bergerak ke arah masa depan yang terbuka terhadap keadilan dan pengharapan (Jack Seymour)

4 pendekatan PK

Instruksional

Pertumbuhan spiritual ! Komunitas iman

Transformasi

Ekklesiologi

F. Merancang Kurikulum Katekisasi yang Kontekstual

Pembinaan Pemimpin Katekisasi GKI SW Jateng “REVOLUSI” KATEKISASI
9-10 Februari 2015

Kurikulum

● pengertian luas: ide dasar – pelaksanaan – evaluasi proses belajar mengajar – dampaknya di tengah masyarakat

● pengertian sempit: susunan matakuliah

Kurikulum

empat unsur: produk, program, hal-hal yang dipelajari siswa, dan pengalaman siswa

suatu cara untuk mempersiapkan naradidik agar berpartisipasi sebagai anggota yang produktif dalam masyarakat

Ralph W. Tyler :

Tujuan

Filsafat Pendidikan

Psikologi Belajar

Tujuan Tentatif

Kehidupan masa kini

Bidang Studi

Naradidik

Sumber Kurikulum

• Peserta didik

• Kehidupan masa kini masyarakat

• Bidang studi katekisasi

Pendekatan Kurikulum

• berorientasi bahan

• berorientasi tujuan

• berorientasi kompetensi

Desain Kurikulum

• pengaturan bagian-bagian (komponen- komponen) dari perencanaan kurikulum:

1) tujuan
2) materi/ isi matakuliah
3) pengalaman pembelajaran 4) pendekatan penilaian

• komponen berhubungan satu sama lain • komponen mesti ada secara seimbang

Tujuan

Materi/isi

Pengalaman pembelajaran

Pendekatan penilaian

Taksonomi Benjamin Bloom 
 (1913-1999)

1. Ranah Kognitif

  • Pengetahuan
  • Pemahaman
  • Penerapan
  • Análisis
  • Sintesis
  • Evaluasi

2. Ranah Afektif

•Penerimaan

•Penanggapan

•Penilaian

•Pengaturan

•Bermuatan nilai

3. Ranah Psikomotorik

  • Gerakan reflex
  • Gerakan dasar
  • Gerakan tanggap
  • Kegiatan fisik
  • Komunikasi tidak berwacana

Psikologi Belajar

• Behavioris

• Kognitif

• Konstruktif

 Kurikulum Katekisasi yang Kontekstual, Sesuai dengan Kebutuhan Jemaat dan Konteks Masa Kini


John Dewey (1859-1952)

  • Hidup pada zaman optimisme terhadap progresivitas manusia
  • Pendidikan progresif dan pendidikan eksperiensial

 Pengalaman dan pendidikan

• learning by experience

  • Pendidikan adalah perkembangan yang terjadi di dalam, oleh, dan untuk pengalaman
  • Namun demikian tidak semua pengalaman bersifat edukatif; hanya pengalaman yang membangun dan yang direfleksikan yang bersifat edukatif

Pengalaman dan pendidikan

• berpikir, berefleksi, merekonstruksi dan mengajukan pertanyaan kritis terhadap pengalaman itu.

• Peserta didik berpikir kritis, melihat pentingnya pengalaman, berefleksi terhadap pengalaman nyata ! belajar dari pengalaman

Pengalaman dan pendidikan

  • pendidikan = proses yang disengaja, agar peserta didik memperoleh kesempatan untuk merekonstruksi pengalaman mereka.
  • Guru sebagai pembimbing dan rekan sekerja dari peserta didik membantu mereka untuk menemukan melalui pengalaman apa yang telah ditemukan oleh komunitas sebagai pengalaman turun temurun

Pengalaman dan pendidikan

• Pengetahuan bukanlah mengaplikasikan teori ke praktek, namun belajar melalui praktek (learning by doing)! mempelajari kebenaran pengetahuan dan rumus-rumus yang diwarisi, dan memperbaikinya.

 Merancang Kurikulum Katekisasi yang Kontekstual

Shared Christian Praxis (SCP)
 Berbagi Praksis Kristen

◆ Shared (Berbagi)

  • ◆  Christian ! (Kristen) !
  • ◆  Praxis (Praksis)

Thomas Groome

Tujuan BPK

  • ◆  Untuk pemerintahan Allah
  • ◆  Untuk pertumbuhan iman:

    * Believing ! pengetahuan * Trusting ! relasi
    * Doing ! perbuatan

  • ◆  Untuk kebebasan manusia, syalom

Aktivitas Terfokus

  1. G1  Ekspresi/cerita praksis masa kini
  2. G2  Refleksi kritis aksi masa kini
  3. G3  Jalan masuk kepada Cerita dan Visi

Kristen

G4 Hermeneutik dialektis untuk mengambil makna Cerita dan Visi Kristen bagi cerita-cerita dan visi-visi peserta

G5 Keputusan/respon untuk hidup sesuai iman Kristen