Renungan Getsemani (Matius 26:36-46)image

Keindahan kisah Getsemani, kiranya memberikan kita sebuah “irama indah” untuk masuk dalam Jumat Agung.

1. Pergumulan yang terberat (44)
Tidak ada kisah yang menampakkan pergumulan Yesus yang terberat seperti bagian ini.
Kita diperlihatkan titik terendah dari Yesus atau ketakutan yang paling dalam dari sisi “kemanusiaan” Yesus.
Perhatikan: Yesus selalu dicatat sebagai orang yang “mengasingkan diri sendiri” untuk berdoa. Namun pada saat Getsemani, Ia meminta murid-muridNya menemaniNya.
Alkitab mencatat sebuah kata ‘curhat’ Yesus kepada murid-muridNya, “HatiKu sangat sedih, seperti mau mati rasanya.”
Injil Lukas malah menyebutkan bahwa Yesus sangat ketakutan ketika Dia berdoa, sampai peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah (Luk 22:44).
Apakah seseorang mengeluarkan keringat saat udara sangat dingin? TIDAK MUNGKIN.
Lukas yang seorang tabib, mampu menjelaskan peristiwa bercampurnya keringat dan darah Yesus ini dengan rinci di dalam kitab yang ditulisnya, sementara kacamata awam dari Matius dan Markus gagal menangkap hal ini. Penelitian di dalam literatur dunia medis menjelaskan, situasi yang dialami Yesus dikenal dengan istilah ‘hematidrosis atau hemohidrosis ‘ (Allen, 1967 dalam The Skin: A Clinicopathological Treatise, pp. 745-747). 
Kondisi ini adalah peristiwa keluarnya darah melalui kelenjar keringat seseorang yang disebabkan oleh kondisi stres yang sedemikian besar . Selama satu abad terakhir, dilaporkan terjadi 76 kasus hematridosis yang berhasil dianalisis dan diklasifikasi. Faktor utama penyebab hematridosis adalah “Rasa takut yang akut dan pergumulan mental dan emosional yang mendalam” (Holoubek and Holoubek, 1996 dalam Blood, Sweat, and Fear. ‘A Classification of Hematidrosis ).
Ketakutan Yesus, bukan sekadar mati. Tapi ada pengkhianatan muridNya, dan juga orang-orang dikasihiNya akan meninggalkanNya seorang diri.
Tapia pa yang dilakukan Yesus? Dalam keberdosaan kita yang meninggalkanNya, Ia berkata: “biarlah rencana awal Allah yang terjadi”, Berarti sebuah kasih yang rela berkorban untuk kita.

2. Pergantian status kita ke Dia
Ilustrasi:
Pada akhir tahun 1863, di Wales Selatan, seorang ibu berjalan kaki sambil menggendong bayinya menuju ke suatu tempat. Tiba-tiba datang badai salju menyerang sang ibu dan bayinya. Karena hebatnya badai tersebut, tidak seorang pun yang berani keluar untuk menolong mereka.

Beberapa jam kemudian badai reda. Beberapa orang berusaha mencari sang ibu dan bayinya. Setelah beberapa saat mencari, mereka menemukan sang ibu telah menjadi mayat, tertutup salju tebal. Mereka sangat heran karena ternyata sang ibu telah melepaskan mantel bajunya.

Setelah mereka mengangkat mayatnya, mereka menemukan sang bayi yang masih hidup dengan dibalut mantel hangat di bawah badan ibu tersebut. Sang ibu tidak lagi mempedulikan keselamatannya. Ia hanya menginginkan agar bayinya dapat selamat, walaupun ia harus mengorbankan nyawanya.

Bayi tersebut kemudian bertumbuh dewasa dan menjadi seorang negarawan besar, yakni perdana menteri Inggris yang memerintah pada 1916 – 1922. Ia adalah David Lloyd George (1863 – 1945).

Sumber: 50 Renungan yang Membawa Berkat, Chandra Suwondo, Metanoia Publishing, 2006, hlm. 4 – 5.

Di sinilah terlihat pertamakalinya, Ia “memproklamasikan” sebuah pergantian status, melalui “cawan” yang pahit.
Renungkanlah: Di depan Anda ada sosok seorang dengan baju kumal dan kotor noda, dan sosok Yesus yang berlutut di Getsemani (taman yang penuh pohon Zaitun). Saat doa Yesus yang ketiga kalinya, atau saat Ia berkata, “Biarlah cawan ini, Aku yang minum,” pada saat itu, pakaian kumal terlepas dari sosok orang itu, dan dikenakan pada diri Yesus.

Ia Menggantikan hidup kita!!
Kiranya renungan ini membawa kita,
a. Tersadar bahwa “Betapa” cinta dan kasihNya sungguh amat besar, yang telah dinyatakan kepada kita melalui pergumulan Tuhan Yesus di taman Getsemani.
Apakah kita menghargai, menerima, bahkan datang mengucap syukur kepadaNya dengan sepenuh hati dan segenap akal budi kita ?
b. Apa yang terjadi pada malam itu di taman Getsemani,” tatkala murid-muridNya meninggalkanNya, hal itu dapat pula terjadi bahkan seringkali dilakukan oleh kita sebagai orang-orang percaya di dalam “taman” dunia ini.
Apakah kita mau bertekad dan mengambil sebuah komitmen baru atau memperbaharui komitmen kita kembali untuk meminta kekuatan dan pertolongan Tuhan agar di dalam kehidupan ini kita tidak kembali melakukan apa yang telah dilakukan oleh para murid di taman Getsemani pada malam itu ? “ Meninggalkan iman kita.

Kiranya perenungan Getsemani, menghantar kita untuk besok, bersiap diri masuk ke dalam peringatan kesengsaraan Kristus, sekaligus memberikan kita kerinduan untuk memberikan diri dan kehidupan kita seutuhnya sebagai persembahan yang Hidup, dan yang selalu berkenan kepada Allah ( Roma 12:1-2 ). Tuhan Memberkati. (HO).
Sahabatku di 19.21