540_293_resize_20130601_df2d8648f1095af40d435f6da9ba8caa_jpg

1 Tim 5:23
“Janganlah lagi minum air saja, melainkan tambahkanlah anggur sedikit, berhubung pencernaanmu terganggu dan tubuhmu sering lemah”.

Beberapa tahun yang lalu saya dan seorang teman dari Manado menuju Tomohon (suatu daerah dingin di Minahasa) dengan mengendarai sebuah motor. Pertengahan jalan kami berhenti untuk menegak segelas “tuak” untuk menghangatkan badan yang sudah menggigil. Teman saya dengan bercanda mengatakan, “hamba Tuhan bisa juga yah minum minuman memabukkan ini?”

Paulus mengatakan kepada Timotius untuk minum anggur SEDIKIT. Artinya, minuman beralkohol bukan sebuah masalah, melainkan menyelesaikan masalah. Permasalahan terjadi apabila minuman itu digunakan oleh pemabuk, berarti yang menjadi ukuran adalah subjeknya bukan objeknya. Contoh sederhana, pisau memiliki fungsi yang baik, namun jikalau pisau digunakan untuk mencuri atau membunuh orang maka fungsinya menjadi buruk. Contoh lain lagi dalam konteks yang terdekat, Tidak lama setelah itu, dalam 1 Tim 6:10, Paulus kembali mengatakan kepada Timotius bahwa, uang itu tidak jahat, yang jahat adalah subjectnya kalau si dia “mencintai uang”.

Dalam teks yang kita baca, Timotius membutuhkan anggur karena ada masalah pada pencernaan dan tubuhnya yang sering lemah, dalam konteks ini, anggur menjadi obat bukan racun. Beda halnya apabila Paulus mengatakan, “tambahkan sedikit anggur maka kelihatannya “kereen”. Bukankah anak muda zaman kini seringkali melakukan segala sesuatu tidak di dasari dengan fungsi melainkan gengsi? Peran Paulus tidak hanya membimbing Timotius dalam ilmu Ketuhanan tetapi juga ilmu pengobatan atau lebih tepatnya, pengetahuan umum.

Bagi Paulus, kekurangan Timotius adalah hal pengetahuan umum, mungkin karena usianya yang masih muda, namun kalau dalam hal iman, udahlah hanya perlu ditambah-tambah lebih dalam, ia memiliki nenek yang bernama Eunike, wanita yang saleh dan mengasihi Tuhan. Lalu konteks kita bagaimana dalam mendidik anak? Mungkin konteks kita tidak pas dalam bicara mengenai alkohol, sudahlah itu salah satu contoh teks untuk mengarahan kita menjadi pedagogi bagi anak-anak kita. Alberbert Einstein mengatakan, “agama tanpa ilmu (pengetahuan) kita jadi buta, tetapi ilmu (pengetahuan) tanpa agama, kita jadi lumpuh”. Artinya, anak kita dengan ilmu agama yang banyak, namun tanpa ilmu pengetahuan ia bisa menjadi radikalisme, begitu juga sebaliknya, anak dididik dengan banyak ilmu pengetahuan tanpa ilmu ketuhanan maka ia menjadi “gnostik” (tuhannya adalah akalnya). Disinilah peran kita menyeimbangkan anugerah Allah dama iman dan akal budi. Namun tentu seperti Amsal mengatakan, “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan”.