
PENDAHULUAN
Dalam sebuah pembicaraan melalui handphone, seorang rekan menanyakan pertanyaan klasik seperti ini, “kalau Tuhan itu baik atau adil mengapa ada yang terlahir cacat atau kondisi ekonomi yang berbeda-beda?” Pertanyaan ini bukan pertamakalinya saya dengarkan, bahkan pernah menjadi sebuah pertanyaan bagi saya juga.
Masalah di atas adalah masalah teodise atau kaitan antara keadilan Allah dengan dunia faktual dan aktual. Seorang filsuf, David Hume merumuskan masalah teodise seperti demikian:
“Apakah Allah mau mencegah kejahatan tetapi tidak mampu? Apakah Allah mampu tetapi tidak mau? Apakah Ia mampu dan mau? Lalu mengapa kondisi itu masih terjadi?”
Dalam sebuah buku berjudul “Jika ada tuhan mengapa ada kejahatan; percikan filsafat Whitehead”, Emanuel Bria, penulis buku tersebut memberikan tiga pandangan,
1. Teodise Agustinian berpendapat bahwa masalah di atas merupakan hal yang terjadi sebagai akibat dosa manusia, dan dosa atau kejahatan sama sekali bukan ciptaan Tuhan. Dosa atau kejahatan merupakan ketiadaan kebaikan. Jika dapat saya ibaratkan, maka mungkin seperti sebuah sisi yang sisi lainnya ada dengan sendirinya. Kebaikan merupakan esnsi atau jantung dari ciptaan dari pencipta yang Mahabaik.
2. John Hick (tradisi Irenian) dalam pandangannya tidak setuju mengaitkan kondisi permasalahn di atas dengan kejatuhan manusia dalam dosa, melainkan syarat mutlak perkembangan manusia yang relatif belum dewasa menuju kedewasaan, baik secara moral maupun spritual. Pandangan ini dapat dikatakan sebagai pandangan yang melihat masalah dosa atau kejahatan sebagai hal yang murni positif sebab berfungsi sebagai alat mendewasakan setiap orang. Lalu darimanakah munculnya masalah kejahatan? John Hick mengatakan bahwa itu adalah rencana ilahi untuk mendewasakan seseorang. Apakah Allah yang baik menciptakan kejahatan demi mendewasakan seseorang? Pertanyaan ini tentulah ditolak oleh mayoritas teolog.
3. Whitehead cukup berbeda sendiri dalam membahas masalah teodise ini. Menurutnya, Tuhan adalah pencipta dunia ini dan Tuhan diposisikan sebagai prinsip utama konkresi atau sumber cita-cita awali. Tuhan bukan seorang penguasa absolut dalam mengadakan sesuatu dari ketiadaan. Pandangan ini sangat ambigu, pada satu satu sisi mengakui Tuhan sebagai pencipta entitas aktual lainnya, namun pada sisi yang lain memberikan keterbatasan kuasa dari Tuhan sebagai pencipta. Seakan-akan Tuhan hanya punya kuasa untuk menciptakan, selanjutanya ciptaanya punya kebebasan untuk melakukan apa saja sebagai satu entitas aktual (https://tounusa.wordpress.com). Karena itu, dihadapan kebebasan ciptaannya sebagai entitas aktual, termasuk dalam melakukan kejahatan maupun kebaikan sebagai bentuk dari kebebasannya, tidak diintervensi Tuhan.
Mengacu kepada kitab suci, tentu iman Kristen cenderung kepada pandangan Agustinian. Hal di atas tidak dapat dilepaskan dari masalah ketidaktaatan Adam dan Hawa yang berdampak kutukan. Ada dua dampak yang terjadi, yaitu, kejahatan alamiah dan kejahatan moral.
Pertama, kejahatan alamiah berkaitan dengan bencana alam yang disebut sebagai akibat tanpa hubungan dan keinginan manusia. Apakah benar demikian? Bagi saya kejahatan alamiah ini juga ada yang terjadi karena ulah sebagian manusia yang tidak tahu atau tidak mau peduli akan dampaknya bagi banyak orang. Perintah Allah dalam Kej 1:28, perlu dimaknai sebagai penguasaan terhadap bumi dengan memelihara seperti Allah memelihara ciptaan-Nya. Namun juga ada masalah pergeseran lempengan bumi dan badai gurun yang kejadiaannya tidak berhubungan dengan manusia, namun menawaskan banyak orang. Agustinus dalam hal tersebut mengatakan bahwa, Allah selalu bekerja baik dalam kehidupan manusia maupun dalam sejarah walaupun nampaknya tersembunyi. Sejalan dengan pandangan Agustinus, Calvin meyakini bahwa semua kejadian yang terjadi berada dalam rencana Allah yang bersifat rahasia.
Kedua, Kejahatan moral, dampak dari kejatuhan manusia dalam dosa sehingga terjadi pembunuhan, peperangan, diskriminasi, perbudakan, dll. Hal ini tidak ada kaitannya dengan “rahasia Allah”, melainkan merupakan hal umum akibat kehendak bebas manusia ketika memilih ketidaktaatan kepada Allah.
Masalah kita mengenai teodisi telah terjawab secara tidak langsung bahwa, hal tersebut bisa terjadi dalam dua kemungkinan, yaitu, rencana Allah atau kesalahan manusia. Jikalau masalah itu adalah rencana Allah maka Allah memiliki rahasia di dalamnya, namun kalau itu kejahatan manusia, maka perbedaan kasta dan konsumsi kimiawi juga merupakan sebab dari lapisan sosial dan kecacatan tubuh.
RAHASIA ALLAH
Saya memilih mengulas tentang rahasia Allah lebih mendalam, sebab bagian kejahatan moral tidak menjadi kendala kita memahami hal yang berkaitan dengan teodise. Apa yang sebenarnya Allah inginkan dari sebuah “penderitaan”? Memulai pembahasan ini, mari kita melihat Yohanes 9:2-3,
“Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”
Pemahaman Yudaisme, kecacatan tubuh dan kemiskinan merupakan masalah kutuk akibat dosa. Rupanya jawaban Yesus pada ayat di atas tidak berkaitan dengan dosa manusia, melainkan sebuah rahasia di mana pekerjaan-pekerjaan Allah akan dinyatakan melalui orang buta itu. Tulisan Eko Riyadi, “Yohanes; Firman yang Menjadi Manusia”, memberikan diskursus menarik mengenai teks di atas. Menurutnya, teks di atas jika tidak dibaca dengan teliti terkesan bahwa Allah yang membuat sibuta mengalami hal itu demi penyataan pekerjaan Allah. Jikalau diperhatikan kembali, teks tersebut bisa dilihat sebagai kecacatan natural, di mana kemudian orang itu dijadikan mitra oleh Allah untuk menyatakan kemuliaan Allah dalam kehidupannya.
Sebuah kisah yang dapat menerjemahkan hal tersebut adalah kisah Fanny J.Crosby (1820-1915). pada usia muda ia menderita kebutaan, pergolakan batin ia alami (dan mungkin pemberontakan) hingga ia menyadari bahwa Tuhan ingin memakainya menjadi saksi Tuhan. Ia pun menggubah hampir 10.000 lagu dan sebagian besar lagu-lagunya dinyanyikan hingga saat ini, tidak satupun lagunya terkesan mengeluh mempertanyakan hal teodise, sebaliknya, “cetar” lagunya membahana dan terasa kuat menyampaikan pesan tentang Allah yang besar dan patut dimuliakan.
So what? Kisah di atas dimaksudkan agar kita yakin bahwa kondisi dunia di mana kita hidup penuh misteri Allah. Namun yang jelas, Ia tidak meninggalkan ciptaan-Nya dan bukan hal seperti yang dirumuskan David Hume di atas. Rahasia Allah berlaku pada setiap pribadi sesuai pada konteksnya masing-masing. Rahasia itu akan tersingkap pada waktunya dan manusia dapat memberikan makna pada peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Saya membaca dan mempelajari injil Yohanes, nampak menarik kisah Nikodemus dan para pengikut Yesus yang diberi makan roti dan ikan oleh Yesus. Nikodemus percaya karena tanda, sementara para pengikut yang diberi makan percaya Yesus, karena mereka merasa ikut Yesus tidak akan kelaparan. Dua motivasi mengikut Yesus ini ditolak oleh Yesus dan jawaban Yesus hanya satu yaitu, “percaya bukan karena tanda dan makanan, melainkan pemahaman”.
Ketika David Hume merumuskan pertanyaan di atas, “Apakah Allah mau mencegah kejahatan tetapi tidak mampu? Apakah Allah mampu tetapi tidak mau? Apakah Ia mampu dan mau? Lalu mengapa kondisi itu masih terjadi?” Saya menjawabnya, Allah punya rencana dan Ia menginginkan keyakinan kita tidak didasarkan tanda dan “kesuksesan”, melainkan pemahaman bahwa Ia punya rencana dan akan disingkapkannya pada waktu-Nya. Camkanlah hal ini bahwa, “Ia turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi setiap orang yang mengasihi (memahami dan percaya) Dia” (Roma 8:28).
PENUTUP
Dunia yang telah jatuh dalam dosa berdampak “penderitaan” bagi semua pribadi saat ini. Penderitaan itu menyeluruh baik bagi si kaya juga mereka yang miskin, masing-masing memiliki masalahnya, jadi bukan hanya mereka yang terlahir cacat atau berada dalam kasta yang rendah. Semua orang punya penderitaan!
Dalam penderitaan, lihatlah Allah yang menjadi manusia, turut merasakan penderitaan yang lebih sakit dari orang-orang lain yang menderita. Penyataan penderitaan-Nya bukan masalah tanda dan kuasa yang dapat Ia nyatakan kepada kita, melainkan memberitahukan kepedulian Allah. Ia ingin kita pahami bahwa ada rahasia Allah di balik penderitaan dan kunci memahaminya adalah PERCAYA.
“Teodise mengajak kita menyadari tentang kedalaman rahasia Allah, sekaligus menguji kedalaman iman kita mengenai Allah yang Mahakusa, Mahabaik, dan Mahaadil”