jm_100_OT_-P23.tiff
jm_100_OT_-P23.tiff

Nats : Ayub 1:1-6

Pendahuluan

Saudara, Kristen maupun Islam mengakui bahwa Ayub adalah tokoh besar yang bertahan dalam ujian dan pergulatan iman, ia terkenal sebagai pria yang perlu diteladani dalam kesetiaannya terhadap Tuhan. Namun sedikit sekali dibahas bahwa Ayub juga merupakan “papa” yang baik bagi keluarganya dan suami yang menjadi panutan bagi pria yang lain. Disini dikatakan bahwa,

1.Ia senantiasa menguduskan anak-anaknya (5)
Nampaknya teks dibuka dengan menunjukkan bahwa anak-anak Ayub sudah besar bahkan sudah menikah.

Hal tersebut dpt dilihat pada ayat 4, kalau mereka mengadakan pesta di rumah mereka masing-masing dan ketiga saudara perempuannya ikut diundang. Lalu rupanya hubungan saudara dengan saudara begitu akrabnya, ada jadual di mana pesta dilakukan bergiliran di antara mereka.

Hal tersebut sedikit menunjukkan kepada kita bahwa Ayub adalah tipikal ayah yang mampu mempersatukan hubungan baik di antara anak-anaknya dan Dia pun mengerti bahwa apa yang dilakukan anaknya di rumah mereka masing-masing (padahal belum ada CCTV)
Dalam kesibukan Ayub dalam mengelola bisnis dan kekayaannya tidak menghilangkan perhatian kepada keluarganya – Dia selalu punya waktu, dia selalu punya hati.

Dan yang menarik adalah, setiap kali pesta berakhir ia memanggil anak-anaknya dan menguduskan mereka, dengan apa? Dengan doa.

Dia tidak membawa anaknya kepada masa depan dunia saja, namun ia menaruh sebuah pondasi iman dalam diri pribadi anak-anaknya. Menghantar anaknya untuk selalu mengingat pencipta mereka melebihi dirinya sebagai Ayah.

Mungkin Ayub paham bahwa ketika pribadi anaknya mengenal Allah, maka cinta mereka kepada papanya akan bertambah. Namun ketika anak tidak mengasihi Allah maka cintanya kepada papanya bisa pudar seiring waktu.

Ilustrasi :

Alkisah seorang ayah dan seorang anak. Sang ayah digambarkan sebagai seorang ayah yang sibuk yang sedang bekerja di depan komputernya. Sang anak adalah seorang anak yang mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi yang sedang berkutat dengan peta dunianya.
Tiba-tiba sang anak menghampiri sang ayah. Dia bertanya kepada sang ayah, “Pa, ini kota apa?” sambil menunjuk satu kota di peta dunianya. Sang ayah yang merasa terganggu menjawab dengan acuh tak acuh, “Itu kota London, Nak…”
Sang anak kembali berkutat dengan peta dunianya. Namun, tak lama dia kembali dan bertanya lagi kepada papanya, “Pa, kalau yang ini kota apa?” sambil menunjuk kota yang lain. Papanya melihat peta tersebut dan menjawab, “Itu kota Paris, Nak!”.
“Kalau yang ini, pa?” sang anak menunjuk kota yang lain. Sang ayah pun mulai tak sabar dan merasa terganggu oleh anaknya. Tiba-tiba, dia terpikir sebuah ide. Dia mengambil peta dunia anaknya dan menyobeknya menjadi beberapa bagian. Dia berkata, “Nak, kamu susunlah dulu peta dunia ini kembali menjadi utuh, baru kamu tanya papa lagi yah…”. Sang ayah berpikir dia telah berhasil membuat anaknya sibuk dengan “puzzle-puzzle” tersebut dan dia takkan terganggu lagi dalam waktu yang lama.
Namun, di luar dugaan sang ayah, tiga menit kemudian sang anak kembali dan bertanya, “Pa…”. Sang ayah terkejut ketika melihat sang anak membawa peta dunia yang sudah tersusun rapi secara baik dan benar. Dia bertanya-tanya, bagaimana mungkin anaknya dapat menyusun peta dunia yang rumit itu secepat itu. Bahkan, dia sendiri pun belum tentu bisa menyusunnya dalam waktu tiga menit.
Sang ayah lalu bertanya kepada anaknya, “Nak, bagaimana kamu dapat menyusun peta dunia yang rumit itu secepat ini?”
Sang anak menjawab, “Gampang pa…”. Lalu, sang anak membalik gambar peta dunia tersebut. Ternyata, di balik gambar peta dunia tersebut terdapat gambar Tuhan Yesus. Sang anak berkata, “Saya kan sudah sangat mengenal Tuhan Yesus. Jadi, saya balikkan semua potongan gambar tersebut, dan saya menyusun gambar Tuhan Yesus sesuai dengan yang saya kenal. Ketika saya menyelesaikan susunan gambar Tuhan Yesus tersebut, gambar peta dunia di baliknya juga otomatis tersusun dengan baik.”

Implikasi

Seorang anak yang mengenal Yesus siap berjalan di seluruh dunia tanpa seorang ayah kuatir anaknya berada di manapun, namun seorang ayah akan merasa menyesal ketika ada kesempatan tetapi tidak membawa anaknya mengenal Yesus, pada akhirnya hidup seorang ayah kuatir sekali akan hidup anaknya ketika ia (ayah) akan pergi meninggalkan dunia ini.

2. Karena ia mengerti benar bahwa fokusnya adalah Allah (1-3)
Kata saleh dan tulus dalam ayat 1 lebih dari cukup untuk menjelaskan identitas Ayub
Prinsip hidupnya adalah, “Tuhan yang memberi dan Tuhan yang mengambil”. Jadi ia adalah seorang ayah yang memahami bahwa apa yang dia miliki merupakan milik Tuhan yang perlu dijaga, dipelihara, bukan itu saja tetapi dibawa kepada Tuhan.
Dengan pemahaman itu, maka kekayaannya, pengetahuannya, keluarganya, tidak berarti dibandingkan dengan kecintaannya terhadap Tuhan.

Kecintaan terhadap Tuhan adalah KUNCI perkenan Tuhan bagi setiap manusia. Orang-orang besar dalam Alkitab menunjukkan hal itu: Paulus mengatakan, semenjak Yesus kukenal, semuanya kusampahkan; Abraham siap mempersembahakan Ishak, anaknya yang ia nanti puluhan tahun ketika Tuhan menurunkan perintah untuk Ishak dipersembahkan di mezbah pembakaran.

Fokus ini tepat, bidikan Ayub benar di tengah-tengah manusia yang melihat pengetahuan dan kekayaan serta status lebih besar daripada Tuhan.

Saudara, saya kira kecintaan Ayub kepada Tuhan tidak terjadi begitu saja, namun sebuah proses pembentukan waktu dan relasinya dengan Tuhan. Makin lama ia bergaul dengan Tuhan makin ia kenal Tuhan, sampai ia tua, imannya makin kuat kepada Allah

Andaikata Ayub mendidk anaknya tidak mengutamakan Tuhan, mungkin anaknya seperti video di bawah ini:

Kisah nyata di Tiongkok) Video seorang anak yang melempar pelayanan dengan uang karena tidak mau diperlihatkan delang emas (pelayan itu menjalankan aturan toko di mana jumlah emas terbatas untuk dikeluarkan), anak itu mengatakan, “kamu nda kenal papaku?’ didikan ayahnya kemungkinan besar adalah salah terhadap anak itu.
Jikalau kita mau lebih dalam lagi, ayat 8, Tuhan bangga punya Ayub karena Tuhan katakan, di semua anak-anak-Ku tidak ada seorangpun seperti Ayub!

Aplikasi

Beruntunglah keluarga yang memiliki suami dan papa seperti Ayub. Ia tidak hanya berkenan di hati keluarganya tetapi di hati Tuhan. Ia ayah ideal yang memperhatikan keluarga dikala sibuk sekalipun dan memiliki arah di mana harus membawa keluarganya lebih baik.