Aku Debu;Debu itu Aku
Kejadian 18:27; Ayub 42:1-6
18:27 : Abraham menyahut: “Sesungguhnya aku telah memberanikan diri berkata kepada Tuhan, walaupun aku debu dan abu.
42:1 Maka jawab Ayub kepada TUHAN: 42:2 “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal. 42:3 Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui. 42:4 Firman-Mu: Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman; Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku 42:5 Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau 42:6 Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu”
Pendahuluan
Ilustrasi : Seorang biolog dari Hongkong pernah meneliti tubuh manusia dan mengatakan bahwa dalam diri seorang manusia terdapat berbagai unsur bahan kimia seperti lemak, zat besi, fosfor, kapur, air, dengan jumlah yang nilainya dalam rupiah kira-kira sebesar data berikut:
o Lemak, yang hanya dapat dibuat sebatang lilin = Rp500,00
o Zat besi, yang hanya dapat dibuat 1 ons paku = Rp300,00
o Fosfor, yang hanya dapat dibuat sekotak korek api = Rp500,00
o Kapur, yang hanya untuk melabur sebuah kandang anjing = Rp1.000,00
o Air, yang dapat diperoleh secara gratis = Rp0,00
Jika perhitungan ini benar, maka nilai seorang manusia hanya sekitar Rp2.300,00. Wah, betapa murahnya! Apalagi jika mengingat fakta bahwa manusia diciptakan dari debu tanah, maka semakin dihitung sebenarnya kita — manusia ini — makin tidak ada harganya. Berdasarkan kebenaran tersebut, maka kita pasti akan terheran-heran saat melihat betapa indahnya karya dan berkat-berkat Allah bagi kita. Dan seperti raja Daud, kita juga akan bertanya hal yang sama kepada-Nya: “Tuhan, siapakah kami manusia ini sehingga Engkau membuat kami segambar dengan-Mu — memberi kami napas hidup, memerhatikan, bahkan mengindahkan kami?” (ayat 5,6).
- Abraham dalam mengingatkan manusia identitas diri.
Konteks : Doa untuk Sodom di mana Abraham tawar menawar dengan Allah
Jika kita baca dengan saksama, Abraham “lancang” untuk buka harga kepada Tuhan. Serentetan pertanyaan di tanyakan kepada Tuhan.
Sehingga apa yang terjadi? Dia tiba-tiba sadar bahwa dirinya hanyalah abu dan debu!
Saudara tahu arti debu? Dalam bahasa Ibraninya disebut sebut sebagai Avaq, artinya: Penghinaan, ketidalayakan, perkabungan, kesedihan, ratapan, Kemiskinan, ketidakabadian manusia Bahkan lebih daripada itu adalah tanda pertobatan karena menyadari diri sangat tidak memiliki apa-apa di hadapan Tuhan.
Debu yang bernama Abraham itu memberanikan diri untuk bertanya pada Tuhan, “memberanikan diri “ sudah menunjukkan debu itu tidak layak sama sekali, apalagi bersanding atau duduk dalam ribaan Tuhan.
Beberapa tokoh dalam Alkitab menunjukkan hal serupa ketika mereka berhadapan dengan Tuhan, namun dari perkembangan zaman kemudian sepertinya budaya pemahaman ini telah mulai hilang. Tuhan menjadi sama seperti teman bermain. Baik di rumah maupun di gereja. Saya pikir ibadah ini perlu dihidupkan untuk mengingatkan kita kembali bahwa siapa kita di hadapan Tuhan.
2. Ayub dalam pengakuan dosanya
Banyak orang mengatakan bahwa Ayub adalah laki-laki yang dari mulutnya tidak pernah mengkritik Tuhan. Tapi Saudara mulai Ayub 3, kita lihat bagaimana ia “mengutuki hari lahirnya” – Apa yang ada dalam pikiran Ayub ketika ia berjalan dalam dosa pikiran bahwa Allah tinggalkan dia? Ia ingin mengkritik Tuhan ia tidak berani, namun tetap saja saat ia “mengutuki hari lahirnya” saat itu ia “menyalahkan Allahnya”.
Pasal 40 dan 41 : Tuhan menantang Ayub dengan mengatakan “siapa kamu berani mepertanyakan pengadilan-Ku? Orang yang nekat saja tidak layak mempertanyakan atau membenarkan dirinya di hadapan-Ku! Saudara, Murka Allah menghentak Ayub dan sebagai tanggapan kepada penyataan Allah, Ayub merendahkan diri dalam penyesalan. Kata “menyesal” berarti bahwa Ayub memandang dirinya dan bahkan kebenaran moralnya hanya seperti “debu dan abu” di hadapan Allah yang kudus (bd. pasal Yes 6:1-13). Ayub tidak menarik kembali apa yang dikatakannya mengenai hidupnya yang benar dan integritas moralnya, tetapi dia mengakui bahwa tuduhan dan keluhannya terhadap Allah tidaklah pantas diungkapkan seorang manusia fana, dan ia menyesal (bd. Kej 18:27).
Duduk dalam Abu bisa berguna bagi jiwa kita. Abu dan debu menyingkapkan siapa kita di hadapan Allah
Abu dan debu membuat kita jujur menilai diri sendiri, juga membuat kita merenungkan motivasi, maksud, dan keinginan kita. Kita jadi mengenal diri sendiri, yang dulu belum benar-benar kita kenal.
Abu dan debu sekalipun membuat mata perih namun ia juga menolong kita melihat Allah karena kita belum benar- benar melihat-Nya. Di tengah dukacita yang dalam, Ayub berkata, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayub 42:5).
Namun, ketika Yesus hadir dalam hidup kita, Kita yang adalah abu dan debu, penyesalan dan pertobatan, duka dan nestapa menjadikan abu dan debu itu menjadi mutiara dalam anugerah Tuhan. Mari Saudara, Rabu Abu ini kita berpaling dari hidup yang lama menuju hidup penuh kemenangan.