star-near-bethlehem-israel2

Orang Majus tidak sulit untuk dapat mengetahui bahwa seorang Raja akan lahir.  Mereka tidak membutuhkan nubuatan para nabi untuk mengetahui semua itu.  Lihat saja para imam dan ahli Taurat, mereka membutuhkan kitab para nabi sebagai pedoman agar mengerti perihal kelahiran seorang Raja.  Sungguh, orang Majus adalah orang yang dikarunia pengetahuan yang sangat dalam mengenai ilmu perbintangan.  Tidak hanya masalah rasi bintang, tetapi firasat yang kuat terhadap penampakan bintang itu seolah-olah berbicara kepada mereka untuk berjalan hingga berada di bawah bintang itu.

Sekalipun orang Majus tidak kesulitan untuk memahami bintang itu adalah bintang Raja, namun yang sulit adalah perjalanan menuju ke Yerusalem, kemudian menyusurinya hingga ke Betlehem.  Keamanan bukan masalah, mereka mungkin membawa body guards. Yang masalah adalah tenaga dan waktu, di tengah-tengah kesibukan mereka dan mungkin usia mereka tidak muda lagi, mereka “mengayuh” onta tanpa lelah.  Perjalanan dari Persia menuju Yerusalem dikatakan banyak orang, membutuhkan berhari-hari dan melewati padang-padang yang kurang bersahabat.  Kalau saya….wow, mungkin mikir dulu untuk menuju ke sana.  Bukankah cukup, dari tempat saya, saya mengucapkan selamat atas kelahiran Raja dan hadiah-hadiah itu saya memakai jasa kurir. Sedehana bukan?  Yang penting hadiahnya dan namaku nyampai di sana.

Mereka tidak demikian, hidup yang hanya sekali ini tidak ingin mereka buang percuma, ada sebuah kerinduan yang amat dalam untuk berjumpa dengan sosok yang mereka percaya sebagai Raja alam semesta.  Mereka merasa kecil, hina, jauh dari kemuliaan, dan itulah yang mendorong mereka melintasi padang untuk sebuah tujuan yang pasti. Memang benar, orang yang bersungguh-sungguh mencari akan mendapatkan wajah-Nya.  Kebalikannya, Herodes sudah ada di Yerusalem, tinggal sejengkal maka ia tiba di Betlehem.  Namun, ia tidak mencari Raja untuk disembah, melainkan ia mencari untuk membunuh-Nya.  Maka, ia mencari tetapi tidak mendapatkan wajah-Nya.  Herodes tidak merasa hina, kecil, jauh dari kemuliaan.

Singkat cerita, orang-orang Majus mendapatkan Yesus, dan mereka melihat anak itu.  Apa yang mereka lihat?  Anak itu tidak seperti seorang Raja, Ia sederhana, ayahnya tukang kayu, mamanya masih muda kurang pengalaman.  Seharusnya mereka membatin, apakah benar anak ini?  Kok bukan di kerajaan?  Kok bukan di kota besar?  Atau sekurang-kurangnnya, ayahnya seorang pedagang mebel yang sukses!  Yah udahlah, etiket Timur, kita menyapa dan menghormati, apalagi mereka tamu di negeri asing.  Bisa saja mereka menyapa namun hadiahnya disembunyikan, kan kayaknya bukan Raja yang kita cari, Ia hanyalah seorang miskin yang tidak istimewa!

Entah darimana keyakinan yang kuat itu.  Mereka sujud menyembah!  Menyembah Anak yang kecil dan yang sederhana.  Mereka mengeluarkan persembahan terbaik di hadapan-Nya.  Persembahan mereka tidak hanya harta yang berharga, namun tenaga dan waktu menunjukkan totalitas diri mereka di hadapan Sang Pencipta.  Apakah ini yang dikatakan iman Majus?  Apakah Roh Kudus memberitahukan mereka, sehingga tidak ada keraguan untuk menyembah Anak itu?

Kisah Orang Majus membuat Mazmur 19:2-5 tidak menjadi kalimat figuratif, tetapi menjadi harafiah.  Orang Majus mendengar gema cakrawala dan itulah suara Tuhan melalui bintang di Timur.  Saudaraku, jauhkah kita dari Anak itu saat ini? Tidak lagi ada padang yang merintangi kita untuk menggapainya, sebab itu mari kita melangkahkan kaki dan sujud menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.